Kamis, 26 Februari 2009

Hanya Engkau

Dari seluruh semesta,
hanya Engkau saja yang kupilih,
Apakah Engkau akan membiarkanku
duduk bersedih?


Hatiku bagaikan pena,
dalam genggaman tanganmu.
Engkaulah sebab gembiraku,
atau sedihku.


Kecuali yang Engkau kehendaki,
apakah yang kumiliki?


Kecuali yang Engkau perlihatkan,
apakah yang kulihat?


Engkaulah yang menumbuhkanku:
ketika aku sebatang duri,
ketika aku sekuntum mawar;
ketika aku seharum mawar,
ketika duri-duriku dicabut.


Jika Engkau tetapkan aku demikian,
maka demikianlah aku.
Jika Engkau kehendaki aku seperti ini,
maka seperti inilah aku.


Di dalam wahana,
tempat Engkau mewarnai jiwaku,
siapakah aku?
apakah yang kusukai?
apakah yang kubenci?


Engkaulah yang Awal, 
dan kiranya, Engkau
akan menjadi yang Akhir;
jadikanlah akhirku lebih baik,
daripada awalku.


Ketika Engkau tersembunyi,
aku seorang yang kufur;
Ketika Engkau tampak,
aku seorang yang beriman.


Tak ada sesuatupun yang kumiliki,
kecuali yang Engkau anugerahkan;

Apakah yang dapat kusembunyikan dari-Mu,
di dalam hati atau perbuatanku?


Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz no 30
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson

Selasa, 24 Februari 2009

Matilah Sebelum Engkau Mati

[Mengenai sabda Rasulullah saw, ‘
Matilah sebelum 
engkau mati:’
“Wahai sahabat, matilah sebelum engkau mati,
jika yang paling engkau kehendaki adalah hidup;
karena dengan mati seperti itu, Idris, as,
lebih dulu 
menjadi seorang penghuni al-Jannah, 
daripada kita semua.”]
 











Engkau telah banyak menderita,
tetapi engkau masih tetap terhijab,
karena kematian itu suatu pokok yang mendasar,
dan engkau belum mencapainya. 

Deritamu tidak akan berakhir sampai engkau mati:
engkau tidak dapat menjangkau atap
tanpa menyelesaikan tangga panjatan. 

Walau hanya tersisa dua buah
dari seratus anak-tangga,
sang pemanjat yang telah keras berjuang
tetap terhalang dari menjejakkan kaki di atas atap. 

Walau tambang hanya kurang satu dari seratus depa,
bagaimanakah caranya air-sumur masuk ke dalam timba.

Wahai pejalan, takkan pernah kau alami
kehancuran kapal keberadaan-diri ini,
sampai engkau meletakkan pemberat terakhir. 

Ketahuilah pemberat terakhir itu sangatlah pokok,
ia bagaikan bintang yang menembus,
yang muncul pada 
malam hari:                    [1]
ia menghancurkan kapal
yang penuh 
ide-jahat
dan kesalahan ini. 

Kapal bangga-diri ini,
ketika ia sepenuhnya hancur,
menjadi matahari di tengah lengkung biru
al-Jannah

Selama engkau belum mati,
deritamu akan terus berkepanjangan:
engkau akan dipadamkan manakala fajar merekah,
wahai lilin dari Thiraz! 

Ketahuilah, Matahari dari alam ini tetap tersembunyi
sampai bintang-bintang kita tertutup. 

Gunakanlah tongkat itu kepada dirimu-sendiri:
hancurkanlah cinta-dirimu,
karena mata jasmaniah ini bagaikan sumbat
pada pendengaranmu. 

Engkau tengah menggunakan tongkat itu
kepada dirimu-sendiri, wahai manusia rendah:
cinta-diri ini adalah bayangan dari dirimu-sendiri
dalam cermin dari tindakan-tindakan-Ku.

Engkau telah melihat bayangan dari dirimu-sendiri
dalam cermin dari bentuk-Ku,
dan telah meradang,
ingin menempur dirimu-sendiri, 

Bagaikan singa yang terjun ke dalam sumur;
karena menyangka bayangan dirinya-sendiri
adalah musuhnya. 

Tidak diragukan lagi, ketiadaan (‘adam)
adalah lawan dari keberadaan
(wujud), 
maksudnya adalah agar dari 
lawannya ini,
engkau memperoleh sedikit pengetahuan 
tentang hal yang sebaliknya.  

Pada saat ini tidak ada sarana
yang menyebabkan diketahuinya 
Tuhan,
kecuali dengan penyangkalan kebalikan:
dalam kehidupan kini
tiada saat yang tanpa jebakan. 

Wahai pemilik kesejatian,
jika engkau menginginkan tersingkapnya
hijab
al-Haqq: pilihlah kematian,
dan robeklah hijab. 

Bukanlah ini kematian yang kemudian membawamu
ke dalam kubur; melainkan suatu kematian berupa
transformasi jiwa,
sehingga ia akan membawamu ke dalam 
suatu Cahaya. 

Ketika seseorang beranjak dewasa,
masa kanak-kanaknya mati;
ketika dia tumbuh putih seperti orang Yunani,
ia menanggalkan celupan hitamnya
yang bagaikan orang dari Afrika. 

Ketika bumi menjadi emas,
tiada tertinggal unsur kebumiannya;
ketika sedih menjadi gembira,
duri kesedihan tiada tersisa. 

Karenanya, Sang Mustafa bersabda:
“Wahai pencari 
rahasia-rahasia,
jika engkau hendak melihat orang mati yang hidup,

Yang berjalan-jalan di atas bumi,
seperti orang yang masih hidup,
namun dia telah mati dan jiwanya telah pergi
ke
al-Jannah;

Orang yang saat ini jiwanya memiliki kedudukan
yang tinggi--ketika ajalnya tiba--tidaklah jiwanya
dipindahkan. 

Karena jiwanya telah dipindahkan sebelum mati:
rahasia ini hanya dimengerti dengan mengalami kematian,
bukannya dengan menggunakan nalar seseorang;

Tetaplah itu sebuah pemindahan, tetapi tidak sama
dengan pemindahan jiwa-jiwa dari mereka yang rendah:
itu mirip dengan suatu perpindahan dalam hidup ini,
dari suatu tempat ke tempat lain. 

Jika ada yang ingin melihat seseorang yang telah mati,
tapi masih tampak berjalan di bumi, 

Biarkanlah dia memperhatikan Abu Bakar,
sang shalih, yang dengan menjadi seorang saksi
yang
shiddiq, menjadi Pangeran Kebangkitan.       [2]

Dalam hidup kebumian kini,
tataplah sang
shiddiq,
sehingga engkau jadi lebih yakin tentang Kebangkitan.” 

Karena itulah, Muhammad merupakan
seratus kebangkitan jiwa: 
di sini dan kini;
sebab terlarutkan dia dalam kematian,
dari kehilangan dan keterikatan sementara.

Ahmad itu lahir dua-kali di alam ini:
dia memanifestasi dalam seratus kebangkitan. 

Mereka bertanya kepadanya mengenai Kebangkitan:
“Wahai (engkau yang adalah) Sang Kebangkitan,
berapa jauhkah jalan menuju Kebangkitan?” 

Dan sering dia akan berkata, dengan kefasihan bisu:
“Adakah seseorang menanyakan (kepadaku, yang adalah)
Sang Kebangkitan,
mengenai Kebangkitan?”

Oleh karenanya,
Sang Rasul yang membawa kabar-kabar gembira 
berkata,
dengan penuh-makna: “Matilah sebelum engkau mati,
wahai jiwa-jiwa mulia,

Seperti aku telah mati sebelum mati,
dan membawa dari Sana kemasyhuran
dan keterkenalan ini.”

Sebab itu,
jadilah kebangkitan dan,
dengan demikian, lihatlah kebangkitan:
menjadi kebangkitan adalah syarat
yang diperlukan
agar dapat melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya. 

Sampai engkau menjadi hal itu,
tidaklah akan engkau ketahui dengan sempurna,
apakah hal itu terang atau gelap. 

Jika engkau menjadi ‘Aql,
 engkau akan mengetahui ‘Aql dengan sempurna;
jika engkau menjadi Cinta,
akan engkau ketahui nyala sumbu Cinta. 

Akan aku nyatakan dengan jelas
bukti dari pernyataan ini,
jika ada pengertian yang tepat untuk menerimanya. 

Buah-ara mudah diperoleh di sekitar sini,
jika ada burung pemakan buah-ara yang mau bertamu. 

Semua orang, lelaki maupun perempuan,
di seluruh alam,
tiada hentinya dalam sekarat,
dan tengah mati. 

Anggaplah kata-kata mereka sebagai wasiat
kepada anaknya,
yang disampaikan seorang ayah pada saat seperti itu. 

Sehingga dengan demikian,
semoga tumbuh di hatimu pertimbangan dan belas-kasih,
supaya akar kebencian dan kecemburuan
serta permusuhan 
dapat tercabut. 

Pandanglah sesamamu dengan cara demikian,
sehingga terbakarlah hatimu dengan belas-kasih,
bagi sekaratnya. 

“Semua yang mesti datang, akan datang:”
anggaplah dia sudah datang di sini dan kini,
anggaplah sahabatmu sedang sekarat dan tengah mati. 

Dan jika ada kehendak yang mementingkan diri-sendiri
menghalangimu dari pandangan seperti ini,
buanglah kehendak seperti itu dari dadamu; 

Dan jika engkau tidak-mampu,
janganlah terus berdiam-diri
dalam keadaan tidak-mampu itu:
ketahuilah bersama dengan setiap ketidak-mampuan
terdapat Yang-Membuat-tidak-mampu. 

Ketidak-mampuan itu adalah sebuah belengu:
Dia mengikatmu dengannya,
engkau harus membuka matamu
untuk menatap Dia yang mengikatkan belengu. 

Karenanya, bermohonlah dengan rendah-hati,
katakanlah: “Wahai Sang Pemandu kehidupan,
sebelumnya aku merdeka,
dan kini aku terjatuh dalam keterikatan;
gerangan apakah sebabnya? 

Telah lebih keras dari sebelumnya
kutapakkan kakiku 
pada kejahatan,
karena Engkaulah Sang Maha Kuasa,
dan aku senantiasa berada dalam kerugian.

Selama ini aku tuli kepada seruan-Mu:
seraya mengaku-aku diri seorang penghancur berhala,
padahal sesungguhnya aku adalah
seorang pembuat berhala. 

Apakah lebih pantas bagiku merenungkan
tentang 
karya-karya-Mu atau tentang kematian?

(Tentang kematian): Kematian itu bagaikan musim-gugur,
dan Engkau adalah (akar yang merupakan)
sumber dari dedaunan.” 

Telah bertahun lamanya,
kematian ini memukul-mukul 
genderangnya,
(tetapi hanya ketika) telah terlambat telingamu 
tergerak mendengarkan.

Dalam kesakitannya (manusia yang lalai)
menjerit dari kedalaman 
jiwanya:
“Wahai, aku tengah sekarat!” 

Apakah baru sekarang ini, 
Kematian membuatmu sadar akan kehadirannya?

Tenggorokan kematian serak
karena teriakan-teriakannya;
genderangnya robek karena kerasnya pukulan-pukulan
yang diterimanya. 

Tetapi engkau menghancurkan dirimu sendiri
dalam 
remeh-temeh: baru kini engkau
menangkap rahasia kematian.
 


Catatan:
[1]    "Demi langit dan demi thariq
Tahukah engkau apa thariq itu?
Bintang yang menembus".

(QS ath-Thariq [86]: 1 - 3)

[2] Dalam Ihya al-Ghazali, dituliskan,
Saat diturunkan ayat 
“... orang-orang  yang dilapangkan dadanya
untuk berserah diri lalu ia menerima cahaya  dari tuhannya....”

(QS  Az Zumar [39]:  22);

Rasulullah saw, menerangkan:
“Apabila cahaya Allah telah memasuki qalb maka dadapun
menjadi lapang dan terbuka ...”  
Seorang sahabat bertanya,
“Apakah yang demikian itu ada tanda-tandanya,
ya ... Rasulullah ?”  Rasulullah menjawab,
“Ya, orang-orang yang mengalaminya lalu merenggangkan
pandangannya dari negeri tipuan (dunia) dan bersiap menuju
ke negeri abadi (akhirat) serta mempersiapkan diri
untuk mati sebelum mati.


Sumber:
Rumi: Matsnavi, III: 4571 - 4601,
terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson
terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh  ngRumi.

Minggu, 22 Februari 2009

Ketika Diusung Kerandaku

Ketika diusung kerandaku di hari kematian,
janganlah menyangka hatiku berada di alam-dunia ini.
Janganlah menangisiku, dan menjerit,
"kemalangan,kemalangan!"
Bisa-jadi malah engkau terjatuh kedalam jebakan syaithan:
itu baru kemalangan.
Ketika engkau lihat jenazahku, janganlah
engkau berseru, "perpisahan, perpisahan!"
Pertemuan dan penyatuan adalah milikku saat itu.

Ketika engkau masukkan aku ke liang lahat, janganlah
engkau ucapkan, "selamat tinggal, selamat tinggal!"
Karena kubur bagiku hanyalah selembar hijab, yang
menyembunyikan pelukan al-Jannah.
Setelah diturunkan ke lubang, tataplah kebangkitan;
Tidaklah ditenggelamkan itu menyakiti matahari dan rembulan.
Tampak bagimu ia tenggelam, padahal itu suatu kebangkitan:
Bagimu kubur adalah penjara, padahal itu pembebasan jiwa.

Bukankah bibit ditanamkan ke dalam bumi agar ia tumbuh?
Mengapa engkau ragukan harkat bibit insan?
Bukankah timba diturunkan, agar ia muncul-kembali:
penuh berisi air?
Tidaklah Yusufnya-jiwa itu perlu mengeluhkan sumur.
Katupkanlah mulutmu di sisi-sebelah-sini, dan
bukalah di sisi-sebelah-sana,
Karena di semesta-tak-bertempat akan berkumandang
lagu kemenanganmu.
(Rumi: Divan Syamsi Tabriz no 14, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson)

Semuanya Beringsut dengan Enggan di Sepanjang Jalan ini, Kecuali ...

Sang Nabi SAW berkata bahwa para ahli surga itu lemah
dalam berdebat karena keagungan pencapaian mereka;
Karena sempurnanya kehati-hatian mereka 
dan menganggap rendah diri sendiri, 
bukan karena lemah-akal, pengecut atau lemah-iman.

Dengan memberikan keuntungan kepada lawan mereka,
diam-diam mereka mendengar hikmah ayat "... dan kalau
tidaklah terdapat disana para lelaki beriman ..." [1]
Maka, tidak menyentuh kaum kafir yang tercela itu
menjadi suatu tugas, demi membebaskan kaum beriman.

Bacalah kisah perjanjian Hudaibiya:
"... adalah Dia yang
menahan tanganmu dari mereka..."; dari sabda itu
pahamilah keseluruhan kisah. [2]

Bahkan dalam kemenangan, sang Nabi SAW memandang
dirinya sendiri dikendalikan oleh buhul-tali Keagungan Ilahiah.

(Beliau SAW bersabda,) "Bukanlah aku tertawa karena aku
menyergapmu di waktu fajar sehingga berhasil menangkap
dan mengikatmu; Aku tertawa karena aku menyeretmu
dengan rantai dan belengu menuju taman pinus
dan mawar al-Jannah.

Bayangkan, kami menggiringmu dalam ikatan,
dari api yang kejam ke tempat yang melimpah
dengan kesegaran; Dengan rantai yang berat Aku
menyeretmu dari Api ke al-Jannah yang kekal."

Setiap pengembara buta, yang berbudi atau jahat;
Dia menyeretnya, dibelengu rantai,
menuju ke 
Hadirat-Nya.

Semuanya menempuh jalan ini dengan terikat rantai
ketakutan dan godaan, kecuali para Waliyullah. [3]
Semuanya beringsut dengan enggan di sepanjang jalan ini,
kecuali mereka yang akrab dengan rahasia-rahasia
tindakan Ilahiah.

Berjuanglah, sehingga terang cahaya di dalam dirimu,
sehingga bergeraknya engkau di jalan pengabdian dan
pelayanan kepada-Nya dibuat mudah.

Engkau mengajak anak-anakmu ke sekolah dengan paksa,
karena mereka buta akan manfaat pengetahuan.
Tetapi ketika sang anak menjadi sadar akan manfaat itu, dia
berlari ke sekolah: jiwanya mengembang-riang ketika berangkat.

Semula sang anak pergi ke sekolah dengan tertekan, karena
dia tidak melihat sedikitpun ganjaran bagi usahanya itu.
Ketika dimasukkan ke dompetnya sedikit upah bagi usahanya
itu, semalaman dia tidak bisa tidur, bagaikan seorang pencuri.

Berjuanglah, agar ganjaran kepatuhan kepada-Nya
segera tiba: barulah engkau bisa iri kepada hamba yang patuh.

Perintah
“datanglah dengan terpaksa” ditujukan kepada
pengikut yang buta; “datanglah dengan senang-hati”
diperuntukkan bagi orang yang dicetak oleh ketulusan. [4]

Adapun yang pertama, mencintai Tuhan demi suatu
sebab-akibat, sementara yang satunya lagi
mempersembahkan suatu cinta murni
tanpa kepentingan 
diri-sendiri.

Yang pertama, bagaikan seorang bayi,
mencintai Juru-rawat 
hanya demi susu;
sementara yang satunya lagi 
mempersembahkan hatinya
kepada Yang-Maha-Tersembunyi.

“Bayi” tidak mengenal kecantikan-Nya;
dia tidak menginginkan dari-Nya kecuali susu semata;
Sementara pecinta sejati juru-rawat tidak memementingkan
diri-sendiri, tulus-ikhlas dalam kesetiaan yang murni.

Jadi, yang mencintai Tuhan demi suatu harapan
atau ketakutan, tekun membaca kitab kepatuhan buta.

Sementara yang mencintai Tuhan hanya demi diri-Nya,
dimanakah dia? karena dia terpisah dari
kepentingan diri-sendiri dan sebab-akibat.

Apakah seseorang itu termasuk jenis yang pertama
atau 
yang ke dua, sejauh dia seorang pencari Tuhan,
maka daya tarik Tuhan akan menariknya kepada-Nya.

Apakah pencari Tuhan itu mencintai-Nya demi sesuatu
selain-Nya? Hanya agar selalu dapat bagian dari kebaikan-Nya?

Atau mencintai Tuhan hanya demi diri-Nya,
karena tiada sesuatupun dapat disandingkan dengan-Nya,
agar tidak terpisah dari-Nya?


Dalam ke dua hal itu, perjalanan maupun pencarian berasal
dari suatu Sumber: hati para pencari tertawan
oleh Sang Pemesona-Hati.

Catatan:
[1] QS [48]: 25
[2] QS [48]: 24
[3] QS [10]: 62
[4] QS [41]: 11


Sumber:
Rumi: Matsnavi, III: 4571 - 4601
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh
Nicholson

Jumat, 13 Februari 2009

Mencintai Pasangan



Sebenarnya,
tidak ada pencinta yang mencari penyatuan,
tanpa yang-dicintainya mencarinya.


Sementara cinta dari sang pencinta
membuatnya sekurus tali-busur,
maka cinta dari yang-dicintai
membuatnya indah dan segar.


Ketika kilat cinta bagi yang-tercinta
menyambar ke hati yang-ini, ketahuilah,
ada cinta dalam hati yang-itu.


Ketika cinta kepada Tuhan
telah nyaring berbunyi di hatimu,
tak pelak lagi, Tuhan telah mencintaimu.


Tiada suara tepukan bisa terdengar
hanya dari sebelah tangan.

Ketika orang yang haus mengeluh:
Wahai air yang lezat...
Air pun mengeluh, seraya bertanya:
Dimanakah sang peminum air?
Kehausan di dalam jiwa-jiwa kita
adalah ketertarikan yang 
ditaruh disitu oleh Sang Air: 

kita adalah milik-Nya, dan Dia adalah milik kita.
Hikmah Tuhan dalam ketetapan dan hukum
membuat kita, 
satu sama lain,
adalah pencinta.

Karena pengaturan-awal itu,
semua unsur dalam semesta 
berpasangan,
dan saling mencintai satu sama lain.

Setiap unsur dalam semesta
menginginkan pasangannya,
bagaikan nyala-amber dan bilah jerami.

Langit berkata kepada Bumi: "selamat datang!
Aku adalah magnit bagimu, dan engkau besi bagiku."

Dalam pandangan mereka yang berilmu,
langit adalah lelaki 
dan bumi adalah perempuan:
apa pun yang ditanamkan langit,
ditumbuh-kembangkan bumi.

Ketika bumi kekurangan panas,
maka langit mengirimkannya;
ketika lenyap kesegaran dan embun,
langit menganugerahkannya.

Isyarat di langit-jiwa yang bagaikan rasi-bintang,
mengirimkan penguatan ke debu-bumi;
isyarat yang bagaikan bentuk-bentuk air
mengandung kesegaran;
isyarat yang bagaikan bentuk-bentuk udara
melayangkan awan,
agar uap beracun segera tertiup menjauh;

Isyarat berapi-api
adalah sumber panas matahari;
yang bagaikan penggorengan,
memerah panas semua bagiannya,
dipanggang api.

Langit berputar dengan gelisah
dalam semesta Waktu,
bagaikan suami menjelajah mencari nafkah
bagi 
kepentingan sang istri;

Dan bumi ini bagaikan istri
yang mengurus rumah-tangga:
dia melahirkan dan menyusui.

Karena itu pandanglah langit dan bumi
sebagai makhluk berakal,
karena mereka mengerjakan karya
makhluk-makhluk berakal.

Jika ke dua kekasih ini
tidak merasakan kemanisan 
satu dari yang lainnya,
maka mengapakah mereka merayap-bersama
bagaikan pasangan?

Tanpa bumi
bagaimana mawar dan bunga arghawan tumbuh?

Apa jadinya, kemudian,
dengan air dan kehangatan dari langit?

Gairah yang ditanamkan dalam diri perempuan
kepada lelaki 
adalah demi tujuan:
agar mereka dapat menyempurnakan
karya satu sama lain.

Tuhan menaruh gairah
di dalam diri lelaki dan 
perempuan
agar semesta dilestarikan oleh penyatuan ini.

Dia juga menanamkan gairah setiap bagian
kepada bagian lainnya:
dari penyatuan keduanya,
karya kelahiran dihasilkan.

Seperti itu pula malam dan siang saling-berpelukan:
mereka tampak berbeda,
tetapi sebenarnya dalam kesepakatan.

Siang dan malam tampil berbeda,
mereka tampak saling berlainan dan bermusuhan;
akan tetapi keduanya dalam rangka kebenaran yang satu;

Satu sama lain saling menghendaki,
bagai terikatnya kerabat,
demi penyempurnaan tindakan dan amal mereka.

Keduanya demi satu tujuan;
tanpa malamnya perempuan,
lelaki tidak akan menerima penghasilan:
sehingga tiada yang dapat dibelanjakan oleh siang.

Bumi berkata kepada elemen ke-bumi-an jasmani:
Kembalilah! Tinggalkanlah jiwa,
datanglah kepadaku bagaikan debu;
Engkau adalah golonganku,
engkau lebih cocok berada bersamaku:
lebih baik engkau keluar dari tubuh itu
dan dari air itu.

Ia menjawab:
Ya, tetapi aku terpenjara disini,
sungguhpun, 
seperti engkau,
akupun lelah oleh perpisahan ini.

Air mencari-cari elemen air dari jasmani,
seraya berkata: 
Wahai air,
kembalilah kepada kami dari pengasinganmu.

Api memanggil panas dari jasmani:
Engkau adalah api, kembalilah ke asalmu.

Terdapat dua ratus dan tujuh puluh penyakit dalam tubuh,
yang disebabkan oleh elemen-elemen
yang tarik-menarik 
tanpa tali.

Penyakit datang untuk menghancurkan tubuh,
agar elemen-elemen dapat pergi,
berpisah satu dari yang lain.

Elemen-elemen ini bagaikan empat ekor burung
yang kaki-kakinya 
diikat jadi satu:
kematian dan penyakit melepaskan kaki mereka.

Ketika kematian saling melepaskan kaki mereka
dari 
ikatan dengan yang lain,
maka segeralah setiap burung-elemen terbang pergi.

Tarikan sumber dan turunannya ini
terus menerus menanamkan 
kesakitan
pada tubuh kita.

Agar koalisi pada tubuh ini dapat pecah-robek,
sehingga setiap elemen, bagaikan burung,
dapat terbang ke rumahnya.

Akan tetapi,
Kasih-sayang Tuhan mencegah mereka
dari ketergesaan ini,
dan menyatukan mereka
dalam kesehatan, sampai dengan masa
yang telah ditetapkan;

(Kasih-sayang itu) berkata:
Wahai bagian-bagian,
masa itu tidaklah engkau ketahui dengan pasti:
karenanya, tiada gunanya begimu berusaha terbang
sebelum masanya tiba.

Seperti halnya setiap bagian dari tubuh
mencari 
penyatuan dengan sumbernya,
maka bagaimanakah keadaan jiwa,
yang bagaikan seorang asing,
terpisah dari dari rumahnya.

Jiwa berkata:
Wahai bagian kebumianku yang rendah,
pengasinganku lebih pahit daripada engkau:
aku itu warga langit.

Gairah dari tubuh
bagi tetumbuhan hijau dan aliran air,
karena dari situlah dia bersumber;

Gairah dari jiwa
bagi Kehidupan dan Yang Maha-Hidup,
karena sumbernya adalah Jiwa Tak-terhingga.

Gairah jiwa itu kepada hikmah dan ilmu;
gairah tubuh adalah kepada kebun, rerumputan
dan tanaman merambat.

Gairah jiwa adalah bagi kenaikan dan ketinggian;
gairah tubuh adalah bagi keuntungan
dan sarana untuk 
mendapatkan keperluannya.

Ketinggian juga memiliki gairah dan cinta kepada jiwa:
dari sini pahamilah bahwa
"Dia mencintai mereka,
dan mereka pun mencintai-Nya." [1]

Jika terus kulanjutkan penjelasan ini,
maka tiada ujungnya:
Matsnawi ini
bisa sampai delapan puluh jilid.

Intinya adalah:
ketika sesuatu mencari,
jiwa dari obyek yang dicarinya juga menghendaki dia.

Apakah dia itu manusia, binatang, tumbuhan, atau mineral,
setiap obyek-yang-dikehendaki
mencintai semua yang belum 
memperoleh obyek-kehendak itu.

Mereka yang tanpa obyek-kehendak
mengikatkan diri 
pada obyek itu, sementara yang dikehendaki
terus menarik mereka;
Akan tetapi,
ketika kehendak para pencinta membuat mereka kurus,
maka kehendak dari Sang Kekasih tercinta
membuat mereka 
cantik dan indah.

Cinta dari Sang Kekasih memerahkan pipi;
cinta dari sang pencinta menelan jiwanya.

Nyala-amber mencintai jerami
dengan penampilan bagaikan 
tidak-memerlukan-apapun; sementara sang jerami
berjuang-keras untuk maju di jalan panjang ini.




Catatan:
[1] QS Al-Maidah [5]: 54.


Sumber:
Rumi: Matsnawi  III: 4393 - 4447
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh
Nicholson.




Jumat, 06 Februari 2009

Mari Bermohon Agar Dianugerahi Adab

Marilah kita mohon,
agar Tuhan menolong kita mengendalikan diri:
orang yang tak mengendalikan diri
dijauhkan dari karunia
Rabb.

Orang yang tak beradab
tidak hanya merusak dirinya sendiri,
tetapi dia juga membakar seluruh dunia.

Semeja-penuh hidangan turun dari langit
tanpa diupayakan,
dan tanpa jual-beli,

Ketika sebagian kaum Musa a.s.
—yang berwajah bagaikan rembulan—
berseru tanpa-hormat: “Manakah bawang-putih
dan kacang adasnya?”
[1]

Seketika roti dan hidangan dari langit terhenti:
sejak itu yang tersisa bagi mereka
adalah beban menanam
dan berpeluh
dengan beliung dan sabit.
Kemudian, ketika Isa a.s. memohon,
Tuhan mengirimkan berbaki-baki makanan
dan kelimpahan dari langit.

Tapi, sekali lagi, sebagian kaum yang tak-beradab,
tak memperlihatkan rasa hormat:
dan bagaikan pengemis,
merampas hidangan,

Walaupun Isa a.s. mencegah mereka
dengan berkata,
“Ini akan terus berlangsung
dan tak akan menghilang dari muka bumi.”

Bersikap curiga dan rakus
di meja Yang Maha Agung
sungguh tidak bersyukur.
Karena akhlak buruk kaum berwajah-pengemis itu,
—yang terbutakan oleh kerakusan,
gerbang rahmat tertutup bagi mereka.

Karena menahan zakat dari orang miskin,
tiada awan-hujan muncul;
dan karena perzinahan
wabah menyebar ke segala penjuru.

Apapun kemurungan dan kesedihan
yang menimpamu, itu akibat
dari ketidak-sopanan
dan keangkuhanmu.

Siapa pun bersikap tidak-sopan di jalan Sang Wali
adalah
seorang penyamun yang merampok manusia;
sedangkan dia sendiri bukanlah manusia.

Karena kendali-diri,
Langit ini dipenuhi cahaya;
dan karena kendali-diri
para malaikat menjadi tak-tercela dan suci.

Oleh sebab ketidak-sopanan,
matahari mengalami gerhana,
dan karena keangkuhan ‘Azazil
terdepak dari pintu. [2]



Catatan:
[1] QS [2]: 61.

[2] QS [17]: 61 - 63.


Sumber:
Rumi: Matsnavi I: 78 - 92.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.