Kamis, 25 Februari 2010

Buncis Rebus

Lihatlah buncis dalam periuk,
betapa ia meloncat-loncat ketika dipanaskan api.
Sewaktu direbus,
selalu ia timbul ke permukaan,
seraya merintih tiada henti.
Sambil mengeluh,
"Mengapa kau letakkan 
api di bawahku? Engkau telah membeliku,
mengapa kini engkau malah menyiksaku?"
Sang istri memukulnya dengan penyendok, [1]
"Nah, sekarang," katanya, "sungguh-sungguh
matang lah engkau, dan jangan meloncat lari dari
yang menyalakan api.
Tidaklah aku merebusmu karena membencimu;
sebaliknya, ini lah yang akan membuatmu lezat dan harum.
Dan menjadi nutrisi dan bercampur dengan jiwa
yang hidup: kesengsaraanmu ini bukanlah penghinaan.
Ketika masih hijau dan segar,
engkau hirup air di kebun:
air yang engkau serap itu demi api ini.
Rahmat-Nya terlebih dahulu daripada murka-Nya, [2]
tujuannya agar dengan Rahmat-Nya engkau
menderita kesengsaraan.
Rahmat-Nya telah mendahului murka-Nya,
agar 
yang-diperdagangkan ini--yakni wujud sejatimu--
dapat 
muncul.

Karena, tanpa kesenangan,
daging dan kulit tidak 
akan tumbuh;
dan jika mereka itu tidak tumbuh,
apakah yang akan ditelan oleh cinta Sang Wali.
Jika, karena urutan itu,
datanglah tindakan kemurkaan,
tujuannya agar engkau dapat menyerahkan
yang-diperdagangkan itu.
Setelah itu, kembali Kasih Allah akan datang,
sehingga 
berlalu lah tindakan kemurkaan;
seraya berkata:
"Kini, karena engkau telah dimurnikan,
engkau dapat 
mentas dari sungai pembersihan."
Sang istri berkata,
"Wahai buncis, engkau telah tumbuh
sepanjang musim semi,
kini rasa sakit adalah tamumu,
jamu lah dengan baik.
Sedemikian rupa,
sehingga ketika pulang, dia 
berterimakasih,
dan menceritakan kemurahanmu 
di hadapan Sang Raja.
Sehingga yang sudi mengunjungimu
bukanlah sekedar 
suatu kebaikan,
melainkan Sang Penganugerah Kebaikan
sendiri; sampai semua kebaikan iri kepadamu.
Aku bagaikan Ibrahim, dan engkau adalah putraku:
baringkan kepalamu di bawah pisauku,
karena dalam 
mimpiku kulihat aku menyembelihmu. [3]

Baringkan kepalamu di bawah kemurkaanku,
dengan 
hati teguh tak bergeming,
sehingga dapat kusembelih 
lehermu, bagaikan Ishmail.
Akan kupotong kepalamu,
tetapi kepala ini adalah kepala 
yang tidak bisa dipotong
dan tidak bisa mati;
[4]
Sungguhpun demikian,
berserah-dirinya engkau adalah 
tujuan sebenarnya:
Wahai sang Muslim, engkau harus
berjuang untuk menyerahkan dirimu.
Karena itu, wahai buncis, tabahlah engkau
ketika direbus 
dalam penderitaan,
sehingga tidak lagi tersisa padamu
wujudmu, tidak pula dirimu.
Semula engkau tertawa di taman bumi, padahal
sebenarnya engkau adalah mawar di taman jiwa;
mawar yang indah dalam pandangan bashirah. [5]
Jika telah bercerai engkau dari taman tanah dan air,
engkau menjadi makanan bagi mulut dan telah masuk
ke dalam yang hidup.
Menjadi nutrisi dan kekuatan dan pikiran.
Dahulu engkau 
mangsa: sekarang jadilah seekor
singa di hutan.
[6]
Awalnya engkau tumbuh dari sifat-sifat-Nya:
kembalilah 
dengan ringan dan gesit
kepada sifat-sifat-Nya.
Dirimu datang dari awan dan matahari dan langit; lalu
engkau terpencar dalam sifat-sifat dan naik menembus
lelangit.
Dirimu datang dalam bentuk hujan dan panas:
engkau akan menuju sifat-sifat Ilahiah.
Dirimu semula bagian dari matahari dan awan dan
bintang-bintang: lalu engkau menjadi jiwa dan amal
dan ucapan dan pikiran."
Tingkatan hewaniyah bangkit dari matinya tataran nabatiyah:
karena itu ucapan: "sembelihlah aku, wahai Wali yang
Terpercaya," benar adanya.
Karena kemenangan menunggu setelah kematian,
ucapan "sesungguhnya pada penyembelihanku terdapat
kehidupan" itu benar.
Shalehnya amal dan ucapan dan ketulusan menjadi
makanan bagi malaikat, dengan sarana inilah
dia naik ke langit.
Demikian pula ketika makanan ditelan Insan, ia naik dari
tataran tak-mampu-bergerak menjadi wadah jiwa.
"Karavan jiwa tak hentinya datang dari langit, singgah
sebentar disini dan kembali lagi.
Berangkatlah dengan manis dan riang
berlandaskan 
pilihanmu sendiri,
tanpa kepahitan dan kebencian 
seorang pencuri. [7]
Kata-kataku pahit, agar kepahitanmu dicuci bersih.

Bekunya anggur dicairkan dengan air dingin,
sehingga 
ia tidak lagi dingin dan keras.
Saat qalb-mu telah penuh darah berwarna anggur,
dari pahitnya pensucian diri, barulah engkau
terhindar dari kepahitan."
Sang buncis menjawab,
"Jika memang begitu adanya,
dengan senang hati aku direbus,
tolonglah aku 
agar bersikap benar.
Yang mentah dan belum dimasak itu mestilah keras
dan tawar.
Dalam perebusan ini, engkaulah perancangnya,
aduklah 
dengan lembut.
Jika aku ini bagaikan seekor gajah,
maka 
jinakkan aku dan beri aku kekang,
agar berhenti 
aku dari mengangankan negeri
dan taman gajah;
Sehingga aku dapat menyerahkan diri
kepada perebusan 
ini, dengan tujuan agar kutemukan
jalan kepada 
pelukan Sang Kekasih;
Karena manusia--jika dibiarkan bebas--
lalu dia akan 
bersikap lancang, melawan 
dan penuh angan-angan."


Catatan:

[1] "Istri" adalah Mursyid; "Buncis" adalah murid;
sedangkan "Api" adalah disiplin diri dalam pertaubatan.

[2] "Rahmat-Ku mendahului murka-Ku." (HR Muslim).

[3] QS [37]: 102.

[4] Yang disembelih disini adalah jiwa (nafs) dari manusia;
yang notabene baru akan mati ketika Hari Kiamat.
Karena itu, alih-alih dari memusnahkan, kematian demi
kematian jiwa akan menaikkan jiwa dari tataran rendah ke
tataran di atasnya sampai ke ketinggian sejatinya.
Hal ini merupakan salah satu tema sentral pembahasan
para Guru Sufi sepanjang zaman.

[5] Jiwa mereka yang beriman sejati tampak indah dalam
pandangan bashirah.

[6] "Singa" memburu keberhasilan ruhaniyah.

[7] "... datang dengan senang hati." (QS [41]: 11).
"Pencuri," karena mengaku bahwa dirinya adalah miliknya sendiri.


Sumber:
Rumi: Matsnavi  III:  4159 - 4202
Terjemahan ke 
Bahasa Inggris oleh
Nicholoson.