Kamis, 21 Oktober 2010

Aku di Sini (labbayka)


Suatu malam,
seorang lelaki merintihkan, "Yaa Allah"
sampai bibirnya manis dengan pujian kepada-Nya.

Iblis mengejeknya,
"Kasihan engkau, wahai lelaki malang,
mana jawaban, 'Aku di sini,' 
untuk semua rintihan, 'Yaa Allah-mu?'

Tiada satupun jawaban datang dari 'Arsy:
sampai kapan engkau merintihkan 'Yaa Allah'
dengan wajah suram?"

Si lelaki patah-hati, berbaring,
tertidur dan bermimpi:
di situ dilihatnya Nabi Khidir as,
di tengah dedaunan menghijau.

Nabi Khidir bertanya:
"Wahai lelaki, engkau berhenti memuji Allah,
mengapa engkau sesali dzikir-mu kepada-Nya?"

Lelaki itu menjawab,
"karena tiada jawaban 'labbayka' (Aku disini),
kutakut diriku telah terusir dari gerbang-Nya."

Nabi Khidir menjawab, "Allah bersabda:
rintihan 'Allah'-mu itu adalah 'labbayka'-Ku,
dan permohonan, duka serta semangatmu
adalah utusan-Ku kepadamu.

Gerakan dan upayamu untuk menghubungi-Ku
sebenarnya adalah penarikan-Ku padamu,
yang melepaskan kakimu dari rantai keduniaan.

Ketakutan dan cintamu adalah jerat
untuk menangkap karunia-Ku,
di balik setiap rintihan 'Rabbi,' terdapat berlipat
'labbayka,' dari-Ku.

Berbeda dengan keadaan jiwa
seorang yang jahil, 
karena baginya tak diizinkan menjeritkan,
"Tuhanku."

Pada lisan dan hatinya terdapat kunci dan gembok,
sedemikian rupa, sehingga tak mampu
merintih pada Tuhan,
bahkan ketika perlu.

Pernah pada sang Fir'aun diberikan harta kekayaan
sedemikian berlimpah-ruah;
sehingga dia mendaku keperkasaan
dan keagungan Ilahiah.

Sepanjang hidupnya manusia malang itu
tak pernah rasakan keresahan ruhaniah,
sehingga tak pernah menjerit kepada Tuhan.

Kepadanya Tuhan berikan kerajaan dunia,
tapi tidak lah dia diberi hati yang berduka,
rasa sakit dan kesedihan.

Hati yang berduka itu lebih baik
daripada kerajaan dunia,
sehingga dengan itu engkau menyeru Tuhan
secara tersembunyi.

Mereka yang tak kenal duka,
menyeru dari hati yang membeku;
sementara yang akrab dengan kepedihan
menyeru dengan hati yang mencair.

Sehingga ketika lisannya bisikkan permohonan,
perhatiannya tertuju pada asal muasal dirinya.

Sehingga rintihannya murni dan pedih,
hatinya sungguh menjerit:
"Wahai Tuhanku, Penolongku,
pertolongan-Mu lah yang kami dambakan."


Catatan:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon dengan tunduk merendahkan diri.

Maka mengapa mereka tidak memohon dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaithan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus-asa."

(QS al An'aam [6]: 42 - 44)



Sumber: 
Rumi:  Matsnavi  III: 189 -  206
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson



2 komentar:

Yenti mengatakan...

Selalu "meleleh" kalau baca ini...sembari mikir serius sampe nggak bisa ngomong, karena sudah baca 'Mauidhah 2'-nya pak Zamzam...
Terima kasih, Mas Herman..

KISAH SUKSES IBU HERAWATI mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.