Kamis, 29 Desember 2011

Sang Khalilullah Menyembelih Merak, Unggas ke Dua Pengganggu Perjalanan

Sekarang saatnya kita bahas merak,
unggas yang dua warna bulunya,
karena dia berwajah-ganda,
senang pamer,
haus nama-besar dan kemasyhuran.

Hasratnya adalah untuk mendapat pengikut,
tak peduli benar atau salah,
tak peduli akibat dan nasib pengikutnya.

Ia menangkap sembarang pengikut,
seperti jebakan, yang tak mengerti
apa tujuan tindakannya.

Asal tangkap saja,
tak berpengetahuan soal manfaat
atau mudharat menangkap pengikut.

Ia bisa habis-habisan
memuji kawan-kawannya,
lalu meninggalkan mereka.

Seperti itu kebiasaannya sejak dulu,
menjebak orang dengan cinta palsu.

Wahai, apa yang kau harapkan
dari kebiasanmu mencari pengikut
dan bergerombol, lalu saling 
membanggakan dan mementingkan diri?
Lihat dan buktikanlah sendiri!

Umurmu nyaris habis,
hari telah senja,
masih saja engkau sibuk
mengejar manusia.

Terus menerus mengejar seseorang
sambil melepaskan orang lain.
Seperti permainan anak kecil saja.

Sampai malam datang,
dan tiada buruan berharga dalam jebakanmu:
jebakan itu tak lebih daripada penyebab 
deritamu dan rantai pengikatmu.

Jadi sebenarnya engkau menangkap
dirimu sendiri dalam jebakan itu,
karena engkau tertipu 
dan terpenjara oleh hasratmu sendiri.

Apa ada penjebak binatang di dunia ini
yang lebih dungu daripada kita,
berupaya menangkap diri sendiri?

Memburu hal yang rendah itu seperti 
berburu babi: sangat melelahkan
dan dagingnya haram dimakan, 
walau cuma sekerat.

Yang pantas diburu itu hanya Cinta saja:
bagaimana mungkin menangkap Cinta
dalam jebakan kita?

Yang mungkin terjadi adalah jika engkau
menjadi buruan-Nya; tinggalkan jebakanmu
dan masuklah kedalam jebakan-Nya.

Yang tercinta berbisik sangat halus 
ke telingaku:


"Menjadi buruan itu lebih baik

daripada menjadi pemburu

Jadikanlah dirimu tolol untuk-Ku,
dan seperti dungu: tinggalkan kedudukan
tinggi seperti matahari, jadilah debu.

Tinggalkan tempat tinggalmu
dan menggelandanglah di pintu-Ku:
jangan bersikap seperti lilin
jadilah ngengat.

Sampai kau rasakan cita-rasa Hidup,
dan memahami kedaulatan yang tersembunyi
dibalik penghambaan."


Pahamilah bahwa tampilan di alam-dunia ini
terbalik-balik: gelar "raja" disematkan pada
orang-orang yang sebenarnya tawanan.

Banyak orang yang pantas digantung
diagung-agungkan masa bagaikan
pemakai jubah kaisar.

Mereka seperti kuburan kaum kufur,
yang tampak bagaikan jubah al-Jannah,
sementara didalamnya berlangsung
murka dari Dia yang Maha Agung,
Maha Kuasa.

Pecinta dunia telah disemen bagai kuburan,
hijab bangga-diri rapat membungkus.

Makhluk malang itu menghias diri
dengan kebajikan palsu,
seperti pohon kelapa terbuat dari lilin,
tanpa memiliki daun atau berbuah.


Catatan:
Puisi tentang 'merak,' unggas ke dua dari empat unggas yang disembelih Nabi Ibrahiim ini merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya, mengenai 'bebek;' bisa diperiksa di: http://ngrumi.blogspot.com/2011/06/sang-khalilullah-menyembelih-bebek.html


Sumber:
Rumi: Matsnavi V  395 - 419.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Rabu, 28 Desember 2011

Mengkaji Mukhlish dan Mukhlash




Persepsi inderawi menarik seseorang ke arah dunia,
Cahaya-Nya melambungkan dia ke langit.

Karena benda-benda terinderai itu
letaknya di alam bawah.

Cahaya Tuhan itu bagaikan laut,
sedangkan yang kita inderai itu bagai setitik uapnya.

Apa yang mengendarai indera tidaklah nampak,
yang kita tangkap hanyalah akibat dan kata-kata.

Cahaya inderawi, yang kasar dan berat,
tersembunyi pada hitamnya mata.

Penglihatanmu tak dapat menangkap cahaya inderawi,
bagaimana mungkin ia dapat melihat cahaya kewalian?

Cahaya inderawi yang kasar saja sudah tersembunyi,
apalagi apa yang ada dibaliknya,
yang lebih murni dan halus?

Alam-dunia ini bagaikan jerami,
dalam genggaman angin--yakni alam tak-nampak;
ia hanya dapat menyerahkan diri,
tunduk sepenuhnya pada alam yang tak-nampak.

Kadang ia dibuat merunduk,
kadang menengadah;
kadang bersuara,
kadang utuh, kadang terpecah.

Kadang ia digerakkan ke kiri,
kadang ke kanan;
kadang darinya tumbuh duri,
kadang menyembul mawar.

Perhatikanlah, dibalik pena yang menulis,
tersembunyi Tangan;
di atas kuda yang berderap,
ada Pengendara tak-nampak.

Jika anak-panah melayang,
mestilah ada Busurnya,
walau tak-nampak;
jika tampak diri-diri kita,
mestilah ada Diri yang tersembunyi.

Jangan patahkan anak-panah,
karena ia berasal dari Sang Raja;
tidaklah ia dilepaskan tanpa suatu maksud,
ia berasal dari genggaman jemari Sang Tunggal,
yang paling mengenal sasaran.

Dia bersabda, "... dan bukanlah engkau yang
melempar, ketika engkau melempar .."
:
       [1]
tindakan-Nya mendahului
tindakan-tindakan kita.

Patahkanlah kemarahanmu,
bukannya anak-panah itu:
tatapanmu yang penuh amarah
menganggap susu sebagai darah.

Ciumlah anak-panah itu,
dan persembahkan kepada Sang Raja;
anak-panah berpercik darah,
darahmu sendiri.

Apa yang tampil di alam nampak,
tak-berdaya, terpenjara dan rapuh;
apa yang tak-nampak
begitu perkasa dan agung.


Kita lah hewan buruan,
yang ditunggu jebakan sangat menakutkan;
kita bagai bola dalam permainan polo,
menunggu pukulan tongkat,
dan dimanakah Sang Pemukul?

Dia menyobek,
Dia pula yang merajut:
dimanakah Sang Penjahit?
Dia meruntuhkan,
Dia yang membakar,
dimanakah Sang Pemadam api?

Dalam sekejap Dia dapat mengubah
seorang suci menjadi kufur;
sekejap pula Dia dapat mengubah
penyembah berhala menjadi seorang zahid. 

Seorang mukhlish setiap saat dalam bahaya
terjatuh kedalam jebakan,
sampai dirinya sepenuhnya termurnikan.

Karena dia masih berjalan,
dan penyamun tak terhingga jumlahnya;
yang berhasil selamat hanya
mereka yang dijaga-Nya.

Jika belum mati seseorang
dari dirinya sendiri--bagaikan cermin kemilau,
dia tak-lebih dari seorang yang mukhlish:
jika dia belum berhasil menangkap burung,
maka dia masih berburu.

Tapi ketika seorang mukhlish
diubah menjadi mukhlash,                  [2]
maka dia telah sampai:
dia menang dan selamat.

Cermin tak berubah kembali menjadi besi,
roti tak berubah lagi menjadi biji gandum.

Cairan anggur tak berubah lagi jadi buah;
buah matang tak kembali jadi mentah lagi.

Matanglah, 
dan menjauhlah dari kemungkinan berubah
jadi kembali buruk:
jadilah Cahaya,
bagai Burhan-i Muhaqqiq.                  [3]



Catatan:
[1]  QS Al Anfaal [8]: 17.

[2]  "(Iblis) berkata: 'Maka bersama dengan ke-Kuasaan Engkau,
akan kusesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba
Engkau yang al-Mukhlashiin."
 (QS Shaad [38]: 82 - 83).


[3]  Penerjemah belum berhasil mengindentifikasi siapa
gerangan tokoh yang Rumi gelari dengan 'Burhan-i Muhaqqiq' ini.

Sumber:
Rumi: Matsnavi II 1294 - 1319.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Jumat, 23 Desember 2011

Mengkaji Cahaya di atas Cahaya



Sang Musthafa bertutur tentang permohonan Neraka, ketika dengan berendah-hati dia bermohon kepada pemilik iman sejati: "berlalulah dengan cepat, wahai Sang Raja, karena cahayamu telah memadamkan apiku." Jadi, terang cahaya al-Mukmin berarti padamnya api, karena tanpa tanpa tampilnya yang berlawanan tak mungkin sesuatu sirna.
Pada Hari Perhitungan, api akan menjadi lawan cahaya,
karena api bersumber dari Murka-Nya, sementara cahaya dari Rahmat-Nya.
Jika engkau ingin tanggalkan api kejahatan, tujukan air Rahmat Ilahiah ke jantung api.
Mereka yang bertakwa dengan
 haqq memancarkan aliran air rahmat itu:
inti jiwa mereka yang bertakwa adalah Air Kehidupan.

Tidak heran engkau yang berjiwa duniawi
lari menjauh dari orang seperti mereka,
karena engkau tersusun dari api, sementara mereka dari aliran air.

Api melarikan diri dari air,
karena takut nyala dan asapnya
dipadamkan oleh air.
Pikiran dan perasaanmu terbentuk dari api;
pikiran dan perasaan orang suci
tersusun dari cahaya yang indah.
Ketika percikan cahaya orang suci menetes
di atas api, terdengar suara berdesis,
dan lidah api menjilat dengan murka.

Ketika datang saat seperti itu, katakanlah,
“mati dan musnahlah engkau,”
agar padam neraka itu,
yaitu api hawa-nafsumu.

Sehingga ia tak membakar taman mawarmu, sehingga ia tak membakar keadilan dan
 hasanah-mu.
Setelah berhasil engkau padamkan,
barulah bibit yang engkau tanam 
dapat menghasilkan aneka buah, atau memekarkan bermacam bunga.

Wahai Guru tuturmu melantur,
mengapa kau tak kembali ke
pokok perbincangan?

Kita sedang memperlihatkan melanturnya
dirimu, wahai pemendam iri-dengki;
tak kau sadari, keledaimu pincang,
sedangkan kota cahaya sangatlah jauh,
alangkah lambat jalanmu.

Telah sekian tahun kita habiskan; sudah hampir lewat masa tanam;
tak ada hasil panenmu,
kecuali wajahmu yang menghitam,
dan amalmu yang berbau busuk.
Cacing telah bersarang,
di akar pohon dirimu:
galilah dan bakarlah.

Kuperingatkan lagi, wahai pencari,
waktu telah hampir habis,
hari telah senja,
matahari jelang tenggelam.

Hanya tersisa satu dua hari lagi,
ketika masih tersisa kekuatan pada dirimu,
kepakkan sayapmu dengan bersemangat.
Manfaatkanlah baik-baik sisa benihmu,
agar dari bibit-waktu yang sedikit itu
dapat tumbuh pohon abadi.
Sementara lampu hidupmu belum padam,
kecilkanlah sumbunya,
dan jagalah minyaknya.
Jangan lagi engkau berkata,
 besok, besok;
sudah terlalu banyak
besokmu yang terlewat.
Jangan sampai tiada hari tanam tersisa.
Dengarkanlah nasehatku,
jasmanimu itu yang mengikatmu,
tanggalkan jasmanimu rentamu,
jika kau inginkan pembaruan.
Tutup mulutmu, dan bukalah buah berisikan emas:
tanggalkan keakuanmu,
perlihatkan kemurahanmu.
Kemurahan berarti meninggalkan syahwat dan hawa-nafsu; orang yang tenggelam dalam hawa-nafsunya,
sulit mentas lagi.
Kemurahan adalah salah satu cabang
cemara di
 al-Jannah:
malang lah orang yang tak berpegangan
pada cabang semacam itu.
Menanggalkan hasratmu adalah pegangan yang paling kuat: cabang itu menarik jiwamu ke Langit.
Karena itu jadilah pemurah,
wahai penganut
 ad-Diin, sehingga terangkat engkau
ke sumber cabang itu.
Jadikan Yusuf yang cantik
sebagai teladan keindahan jiwamu,
perlakukan alam-dunia ini sebagai sumur,
gunakan kemurahan
dan keberserahan kepada karsa
 Rabb 
sebagai tali untuk mentas ke atas.
Wahai peneladan keindahan Yusuf,
tali telah diturunkan, raihlah dengan ke dua belah tanganmu; jangan kau lepaskan, karena hari telah larut.
Berpujilah kepada-Nya ketika tali telah terjulur;
itu dari semesta yang sangat nyata,
tapi tak nampak.

Semesta yang tampil ini,
sebenarnya hanya suatu wujud yang mungkin,
tapi telah menjadi sangat nyata bagimu,
sementara semesta yang sejati,
semakin tersembunyi.
Seperti debu bertaburan dipermainkan angin, bagaikan fatamorgana yang menghijab.
Yang tampak ramai ini sejatinya hampa dan dangkal, bagai bebauan; yang tersembunyi itulah inti dan sumbernya.
Debu hanya tanda
dari adanya angin:
angin itulah yang bernilai,
dan tinggi derajatnya.

Mata yang tersusun dari tanah-liat,
hanya akan menatap debu;
untuk melihat angin itu
diperlukan penglihatan yang berbeda.
Seekor kuda mengenal kuda yang lain, karena mereka sejenis:

hanya penunggang kuda dapat mengenali
sesama penunggang.
Yang dimaksud dengan kuda itu
adalah mata syahwatiah,
sedangkah sang penunggang
adalah Cahaya Ilahiah;
tanpa sang penunggang,
kuda itu sendiri tak berguna.
Karena itu latihlah kudamu, agar dia sembuh dari kebiasaan buruknya;
jika tidak, dia akan tertolak
dari majelis Sang Raja.
Penglihatan si kuda mendapati jalan,
bersumberkan pandangan Sang Raja;
tanpa pandangan Sang Raja
penglihatan si kuda kehilangan panduan.
Penglihatan si kuda akan selalu menolak panduan, kecuali ke arah makanan dan padang rumput.
Cahaya Ilahiah itu yang seyogyanya jadi penentu arah bagi penglihatan si kuda,
barulah jiwa dapat merindu
 Rabb.
Tidaklah mungkin kuda tanpa pengendara
dapat membaca tanda-tanda jalan.
Hanya penunggang bermartabat Raja
dapat mengenali jalan Sang Raja.
Tempuhlah arah selaras dengan rasa-jati
yang dikendarai oleh Cahaya,
Cahaya itu pengendara terpercaya.
Cahaya Ilahiah mengendarai cahaya rasa-jati,
ini salah satu makna dari Cahaya di atas cahaya.


Sumber: Rumi: Matsnavi II: 1248 - 1293 Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Selasa, 13 Desember 2011

Teruslah Mencari


Cepat atau lambat,
jika sejatinya engkau seorang pencari,
pada akhirnya akan kau temukan.


Hendaknya selalu engkau mencari,
dengan segenap dirimu.


Karena terus mencari
adalah panduan terbaik dalam Jalan.


Walau sampai pincang engkau
dan terseok-seok;
walau sosokmu sampai bungkuk dan lusuh,
teruslah merayap menuju Yang Tunggal.


Terkadang dengan ucapmu,
atau dengan heningmu,
hendaknya engkau waspada;
selalu upayakan mengendus 
wewangian Sang Raja
di pelosok ciptaan-Nya.


Sumber:
Rumi: Matsnavi  III  978 - 982.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.


Jumat, 09 Desember 2011

Jalanmu Terbalik

Sikapmu terbalik-balik.
Demi mendapatkan kedudukan,
dengan hormat kau menghadap
mereka yang buta,
kau patuhi mereka dengan sabar;
tapi dihadapan mereka yang sungguh melihat,
tingkah-lakumu tak-beradab.

Tak heran kau jadi kayu bakar
nyala api hawa-nafsumu.


Sumber:
Rumi: Matsnavi  II  3221 - 22
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Camille
dan Kabir Helminski,
dalam Rumi: Daylight
Threshold Books, 1994,
Berdasarkan terjemahan dari Bahasa Persia oleh Yahya Monastra.

Rabu, 07 Desember 2011

Lemparkanlah Tongkatmu

Sang Raja nan Maha Indah dan Penyayang
telah berkenan menerimaku.
Dia Sang Saksi cahaya hati,
Sang Penyejuk dan Sahabat jiwa,
Ruh bagi segenap semesta.

Kujumpai Dia yang telah menganugerahkan
hikmah kepada para bijak-bestari,
kemurnian kepada orang-orang suci.

Dia yang dipuja rembulan dan bintang-bintang.
Dia yang kepadanya menghormat sekalian wali.

Seluruh sel pada diriku berseru:
Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Ketika Musa melihat pohon yang menyala, [1]
dia berkata: "setelah menemukan anugerah ini,
tak lagi kubutuhkan sesuatu yang lain."

Tuhan berkata, "Wahai Musa, penjelajahanmu
telah selesai. Lemparkanlah tongkatmu." [2]

Pada saat itu Musa mengenyahkan dari hatinya
semua teman, saudara, dan kerabat.

Inilah makna dari tanggalkan ke dua terompahmu: [3]
Hilangkan dari hatimu hasrat akan sesuatu pun
di kedua alam.

Sejatinya, ruang qalb itu diperuntukkan
bagi-Nya semata.
Hanya akan kauketahui hal ini melalui
pertolongan para nabi.

Tuhan berkata,
"Wahai Musa, apa itu yang engkau pegang
di tangan kananmu?" [4]

Musa menjawab,
"Ini tongkatku, untuk membantuku berjalan." [5]

Tuhan berkata,
"Lemparkanlah tongkatmu, dan perhatikanlah [6]
keajaiban di dalam dirimu sendiri."

Musa melemparkan tongkatnya ke tanah,
dan tongkat itu berubah menjadi seekor naga.
Langsung Musa lari ketakutan. [7]

Tuhan berkata,
"Pungutlah kembali, dan akan Kuubah dia [8]
menjadi tongkat lagi.
Dengan berkah-Ku, musuh-musuhmu akan
memberimu pertolongan.
Musuh-musuhmu akan berupaya
meraih persahabatanmu."

Wahai tangan, tetaplah berupaya meraih-Nya.
Wahai kaki, tetaplah berjalan kepada-Nya.

Janganlah lari dari ujian yang Kami berikan padamu.
Karena ketika kau jumpai kesulitan,
disitu akan kau jumpai sarana untuk
memahami maksudnya.

Tak ada seorangpun yang berhasil lolos dari
kesulitan, kecuali terjadi kepadanya
hal yang lebih buruk.

Jangan makan umpannya!
Bala-bencana menantimu.

Jangan menyerah pada keraguanmu!
Itu akan melemparkanmu dari Jalan.

Kini, Matahari dari Tabriz telah memberi kita
pertolongan: dia telah pergi, dan tinggalkan
kita sendiri.

Catatan:
[1] QS Al Qashash [28]: 30.

[2] QS Al Qashash [28]: 31, Thaahaa [20]: 19.

[3] QS Thaahaa [20]: 12.

[4] QS Thaahaa [20]: 17.

[5] QS Thaahaa [20]: 18.

[6] QS Thaahaa [20]: 19.

[7] QS Thaahaa [20]: 20.

[8] QS Thaahaa [20]: 21.

Sumber:
Rumi: Kulliyat-e Syams, Ghazal no 123
Badi-uz Zaman Furuzanfar (Ed.)
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Jonathan Star,
dalam In the Arms of the Beloved,
Jeremi P. Tacher/ Penguin, 1997.

Senin, 05 Desember 2011

Tongkat Musa



Pernah kuberada di taman-Mu,
di bawah pohon,
yang kabulkan semua keinginan.

Sepenuh diriku terbakar,
sehingga ku menari tanpa musik.

Kini aku sesosok bayangan,
kumenari seiring cahaya Matahari:
kadang kuberbaring di tanah,
kadang kuberdiri-terbalik, di atas kepalaku;
kadang aku memanjang,
kadang aku memendek.

Bagai gerakan cahaya dan bayangan,
melintas permukaan bumi,
kujelajahi zaman.

Aku lah pangeran Mesir,
dan pemandu Bangsa Israil.
Bagi para ulama,
aku lah sang Pembawa Sabda.

Terkadang aku jadi Kalam.
Terkadang aku jadi tongkat di tangan Musa.

Terkadang aku jadi naga,
membelah jalanku menerobos gurun.

Jangan pernah cari Cinta,
dengan bersandar pada tongkat-kayu fikiran;
guna tongkat-kayu itu,
hanya untuk memandu jalan orang buta.

Yang kudamba hanyalah isyarat-Mu:
satu anggukan dari-Mu,
maka jiwaku kan bebas.

Tidaklah dari sini kuberasal,
aku pengelana yang singgah sejenak.
Tersaruk berjalan,
buta, tak tentu arah.

Mendamba uluran tangan-Mu,
membimbingku, melangkah.


Sumber:
Rumi, Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 1603
Berdasarkan versi Jonathan Star,
dalam A Garden Beyond Paradise: The Mystical Poetry of Rumi,
Bantam Books, 1992.

Minggu, 04 Desember 2011

Lari dari Izrail

Suatu pagi,
ke majelis Nabi Sulaiman as, yang sedang berada
di gedung pengadilan, masuklah seorang bangsawan,
berlari, tergopoh-gopoh.

Wajahnya pucat karena sedih,
bibirnya membiru.

“Sakitkah engkau, Khwajah?” tanya Sang Raja.

Ia menjawab, “Ketika Izrail melemparkan pandangan
kepadaku, dia penuh amarah dan kebencian.”

“Nah, sekarang katakan apa yang engkau inginkan?”

“Wahai pelindung hidupku, kumohon padamu,
perintahkanlah angin membawaku langsung ke India:
semoga sesampainya disana, jiwa hambamu ini selamat
dari kematian.”

Wahai, betapa banyak orang berlomba-lomba,
melarikan diri dari kemiskinan;
malah terjatuh mereka kedalam rahang serakah
dan panjang angan-angan.

Ketakutanmu akan kemiskinan bagaikan kengerian
orang itu: ketahuilah, keserakahan dan panjangnya
angan-anganmu adalah India dari kisah ini.

Nabi Sulaiman memerintahkan angin
segera membawanya melintasi samudera,
ke pedalaman India.

Keesokan harinya, dalam sidang musyawarah,
Sang Raja bertanya kepada Izrail as,
“Ketika engkau memandang dengan marah
kepada si Muslim itu, apakah agar dia segera
melarikan diri, menjauh dari rumahnya?”

Izrail menjawab, “Bukan, bukan marah,
ketika kujumpa dia kemarin, aku terperangah heran.
Karena Tuhan telah memerintahkan agar hari ini
kucabut nyawanya di India.

Sampai kuberkata sendiri, 'Kalaupun padanya tumbuh
seratus sayap, tetap saja sampai di India hari ini
terlalu jauh baginya.' “

Pertimbangkanlah semua urusan dunia ini
dengan keseksamaan seperti itu.

Bukalah matamu, dan tataplah baik-baik.

Dari siapa kita ingin melarikan diri?

Dari diri kita sendiri?
Sungguh itu mustahil!

Dari siapa kita ingin melepaskan diri?

Dari Tuhan?
Sungguh itu suatu kejahatan besar!


Sumber:
Rumi: Matsnavi I:  956 – 970
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Sabtu, 03 Desember 2011

Cahaya dan Bayangan

Foto oleh Emir Bozkurt: https://www.pexels.com/photo/men-praying-in-mosque-15860613/


 Tak mungkin suatu semesta terpisah
dari semesta-semesta lainnya.

Tidak mungkin basah terpisah dari air,
suatu langkah dari gerakan lainnya.

Takkan padam nyala api dengan api lainnya;
wahai anakku, hatiku berdarah karena cinta,
jangan bersihkan darahku dengan darah yang lain.

Hanya matahari yang mampu enyahkan bayangan.
Matahari memanjangkan dan memendekkan bayangan; [1]
carilah kuasa ini dari Sang Matahari.

Kalaupun ribuan tahun kau coba hindari,
pada akhirnya, kan kau dapati bayangan
senantiasa bersamamu.

Yang melayanimu adalah dosa-dosamu,
yang menolongmu adalah sakitmu,
nyala lilinmu adalah kegelapanmu,
pencarian dan jelajahmu dari jerat rantaimu.

Hal ini kan kujelaskan,
hanya jika telah kuat hatimu;
sebab jika remuk kristal-gelas hatimu,
takkan pernah ia pulih.

Mestilah engkau miliki, dan sandingkan
keduanya: cahaya dan kegelapan;
dengarkanlah anakku,
bersujudlah dalam-dalam di hadapan Pohon Taqwa. [2]

Ketika dari Pohon Rahmat-Nya,
Dia tumbuhkan untukmu sayap dan bulu,
jadilah sesenyap merpati,
jangan mendekur.

Ketika seekor katak masuk kedalam air,
sang ular tak dapat mendengarnya;
tapi saat ia menguak,
ular jadi tahu dimana ia berada.

Walaupun sang katak berusaha menipu,
dengan mendesis menirukan ular,
suara aslinya yang parau tetap terdengar.

Sang katak hanya dapat selamat
jika menutup mulut,
dan diam di sudut;
bahkan sebutir gandumpun,
jika ia bisa diam di sudut,
berubah jadi harta-karun.

Ketika sebutir gandum berubah
menjadi harta-karun,
takkan ia lenyap ditelan bumi;
jiwa, yang bagai sebutir gandum,
berubah menjadi harta-karun,
ketika ia mencapai khazanah Hu.

Apakah kuakhiri kata-kata ini disini,
atau kuperas lagi,
Engkau lah, Sang Pemilik Sabda,
yang tentukan;
Wahai Rajaku,
siapalah hamba ini.

Catatan:
[1] “Apakah tak kau perhatikan Rabb-mu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang, dan kalau Dia kehendaki niscaya dijadikan-Nya bayang-bayang itu tetap; lalu Kami jadikan matahari sebagai dalil atasnya.” (QS Al Furqaan [25]: 45)

[2] Pohon Taqwa, Pohon yang Baik, “Syajarah Thayyibah,” (QS Ibrahim [14]: 24).

Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 2155
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam Mystical Poems of Rumi 2,
University of Chicago Press, 1979.

Dengan Cinta

Dengan cinta,
dengan mahabbah,
yang pahit jadi manis.

Dengan cinta,
tembaga jadi emas.

Dengan cinta,
yang keruh jadi jernih.

Dengan cinta,
yang sakit jadi sembuh.

Dengan cinta,
yang mati jadi hidup.

Dengan cinta,
sang raja jadi seorang hamba.

Cinta, mahabbah, adalah buah pengetahuan.
Tak pernah kebodohan dapat menaruh seorang pun
di tahta itu.


Sumber:
Matsnavi II 1529 – 1530
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Camille dan Kabir Helminski,
dalam Rumi: Daylight, Threshold Book, 1994.
Berdasarkan terjemahan dari Bahasa Persia oleh Yahya Monastra.

Jumat, 11 November 2011

Harta Karun Dibawah Rumah



Hancurkan rumahmu,    [1]
karena seratus-ribu rumah bisa dibangun
dari bebatuan murah ini.

Harta-karun terletak di bawah rumah, [2]

tiada jalan lain mencapainya:
jangan ragu, hancurkan rumah,
jangan berpangku-tangan saja.

Sekali kau raih harta-karun itu,  
mudah saja membangun ribuan rumah
tanpa susah-payah.

Ketika sakaratul-maut tiba,
rumah ini akan hancur dengan sendirinya,
dan harta-karun dibawahnya pastilah takkan terungkap,
maka harta-karun itu tak pernah kau dapat;
karena jiwamu mendapat anugerah Ilahiah 
sebagai upah dari upayamu menghancurkan rumah.


Tanpa amal itu, tiada ganjaran:
Tiada sesuatu pun dijumpai manusia di akhirat
kecuali balasan dari amalnya.   [3]


Catatan:
[1]  Di alam-dunia ini jiwa ditempatkan dalam raga,
itulah rumahnya. Sehingga "menghancurkan rumah" itu 
dapat dibaca: "menundukkan karsa raga dalam cahaya sunnah 
Muhammad SAW."


[2]  Mengingatkan salah satu kisah sangat terkenal, yang
direkam dalam ayat  (QS [18]: 77) "... keduanya 
mendapatkan dalam negeri itu ada dinding rumah yang hampir 
roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu ..;" menegakkan 
syariah bagi keperluan anak kecil (jiwa) yang diwarisi 
rumah itu. Ditekankan pula bahwa penegakkan syariah bagi
perlindungan-pendewasaan jiwa haruslah tulus tanpa berharap 
diberi upah. Ucapan, "... jika kau mau, niscaya engkau
engkau mengambil upah untuk itu." (QS [18]: 77) adalah
isyarat bagi Khidir a.s. untuk berpisah dengan Musa a.s. 
yang ketika itu sedang belajar darinya.
Jika para pejalan membahas "harta-karun" itu berkaitan 

dengan "amanah" (QS [33]: 72) yang telah diterima 
"Perjanjiannya" (QS [7]: 172).


[3] "... dan disempurnakan kepada tiap diri balasan dari
apa-apa yang diusahakannya ..." (QS [3]: 25)


Sumber:
Rumi, Matsnavi  IV: 2540-2545

Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Camille dan Kabir Helminski
dalam Rumi: Jewels of Remembrance, Threshold Books, 1996.
Berdasarkan terjemahan dari Bahasa Persian oleh Yahya Monastra.



Rabu, 09 November 2011

Mereka yang Telah Mati

Para pencinta,
yang dengan ikhlas
mati dari diri mereka sendiri:
mereka bagaikan gula,
di hadapan Sang Kekasih.

Pada Hari Perjanjian,  [1]

mereka minum Air Kehidupan,
sehingga matinya jiwa mereka
tak seperti kematian orang lain.

Karena mereka telah dibangkitkan dalam Cinta,

kematian mereka tak seperti
orang kebanyakan.

Dengan kelembutan-Nya,

mereka telah melampaui tingkat para malaikat;
sama sekali tak bisa kematian mereka
dibandingkan dengan orang kebanyakan.

Apakah kau sangka Singa mati bagai anjing,

jauh dari hadirat-Nya? [2]

Ketika para pencinta mati di tengah Jalan,

Sang Raja Ruhaniah berlari menyambut. [3]

Ketika mereka mati di kaki Sang Rembulan, [4]

mereka menyala bagaikan Matahari. [5]

Jiwa para pencinta sejati itu bersatu

mereka mati dalam saling mencintai. [6]

Derai embun Cinta membasuh jantung mereka,

mereka sampai pada kematian
dengan hati berdarah-darah.

Setiap mereka,

mutiara yatim tiada tara,
tidaklah mereka mati di sisi ayah-ibunya.

Para pencinta terbang menembus lelangit,

para pembangkang terpanggang dalam Api.

Para pencinta terpana menatap yang tak-terlihat,

selain mereka, semua mati dalam buta-tuli.

Sepanjang hidupnya, para pencinta ketakutan,

karenanya mereka berjaga menghidupkan malam; [7]
kini mereka mati tanpa takut atau bahaya.

Mereka yang disini memuja dunia,

hidup bagaikan ternak, [8]
dan akan mati seperti keledai.

Mereka yang hari ini mendamba wajah-Nya,

akan mati berbahagia,
gembira dengan apa yang mereka lihat.

Sang Raja menempatkan mereka

di sisi Rahmat-Nya;
mereka tak mati dengan hina.

Mereka yang meneladan kebajikan Muhammad,

akan mati bagai Abu Bakar atau Umar.

Jiwa-jiwa mereka sama sekali tak tersentuh

kematian ataupun kehancuran. [9]

Bahkan kudendangkan ode ini

kepada mereka yang menyangka
jiwa-jiwa mereka telah mati.


Catatan:
[1] QS [7]: 172.

[2] Mengingatkan kepada sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar “Singa Allah.”


[3] Sambutan Sang Pemimpin tertinggi para pecinta Tuhan, Rasulullah SAW, yang mengingatkan kita pada sebuah Hadits Qudsi, “... dan jika dia kembali kepada-Ku berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” (HQR Syaikhani dan Turmudzi dari Abu Hurairah r.a).


[4] Kematian diri sang pencari dalam cahaya sunnah Al-Mustapha.


[5] Terbitnya Matahari dalam diri.


[6] “Berhak akan Cinta-Ku, mereka yang saling cinta dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang menghubungkan silatur-rahim dalam-Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menasehati dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menziarahi dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling memberi dalam Kami. Mereka yang saling cinta didalam Kami dan atas Kami akan disuruh berdiri di atas mimbar cahaya yang diinginkan pada nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HQR Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Qudla'i yang bersumber dari 'Ubadah bin Shamit r.a)


[7] “... mereka yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS [3]: 17)


[8] “... bagaikan binatang ternak ...” (QS [7]: 179)


[9] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS [3]: 169)



Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 972
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh
William C. Chittick
dalam
The Sufi Path of Love,
SUNY Press, Albany, 1983.

Jumat, 21 Oktober 2011

Ketika Engkau Tak Memintal


Jangan tiru kelakuan laba-laba,           [1]
memintal jaring dari liur kesedihan.
Dengking dan lenguh di dalamnya
segera melapuk.

Mengaduhlah hanya pada-Nya,
Sang Maha Pemberi.

Dan jangan bahas hal itu lagi.

Ketika engkau sungguh diam,
kau lantunkan sabda-Nya.

Ketika engkau tak memintal,
Dia lah yang akan memintal untukmu. [2]


Catatan:
[1]  "Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba..."   (QS [29]: 41).


[2]  "... barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus..." (QS [2]: 256)


Sumber:
Rumi: Matsnavi, buku dan nomor belum ditemukan.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Annemarie Schimmel,
dalam Look! This is Love - Poems of Rumi,
Shambhala, 1996.

Jumat, 16 September 2011

Bahkan Isa putra Maryam pun Menyingkir




Inilah kisah tentang Isa putra Maryam,
ketika dia menghindar dari orang-orang dungu,
menjauh, hendak mengungsi,
ke puncak sebuah gunung.

Isa putra Maryam bergegas-cepat
mendaki sebuah gunung.
Sedemikian bergegas,
bagaikan dikejar seekor singa.

Seseorang mengejarnya, dan menyapanya,
“Salam untukmu.
Tak kulihat sesuatu pun mengejarmu,
mengapa engkau begitu terburu-buru?”

Tetapi Beliau tetap berlari,
sedemikian terburu-buru,
tak mau berhenti untuk menjawab.

Sang penanya bersikeras,
terus dikejarnya Sang Nabi itu.
Lalu, dia bertanya lagi,
kali ini sampai harus berteriak:

“Demi Tuhan,” serunya,
“berhentilah sebentar!”
“Sungguh aku bingung,
apa yang membuatmu melarikan diri?”

“Wahai Nabi nan mulia dan pemurah,
Apa yang membuatmu bergegas-lari?
Tak ada singa mengejarmu.
Tiada pula ancaman atau wabah?”

Sang Nabi menjawab,
“Aku melarikan diri dari seorang yang tolol.
Pergilah! Sedang kukhawatirkan keselamatanku,
janganlah kau tahan aku lagi!”

Orang itu bertanya lagi,
“Tapi, bukankah engkau al-Masih, [1]
bukankah engkau yang menyembuhkan
orang yang buta dan tuli?”

“Betul,” jawabnya.

Orang itu bertanya lagi,
“Bukankah engkau Sang Raja Spiritual?
Bukankah dalam dirimu tersimpan do'a
dan permohonan dari alam tak-nampak?”

“Bukankah jika kau berdo'a pada sesosok mayat,
dia langsung bangkit dengan trengginas,
bagaikan gesitnya seekor singa menggondol
korbannya?”

“Betul,” jawabnya,
“Aku lah orang yang kau maksud.”

Orang itu masih penasaran,
“Wahai tuan yang tampan,
bukankah engkau yang menghidupkan
burung dari tanah-liat?” [2]

“Betul,” jawabnya

“Wahai Ruh Murni,
bukankah engkau bisa menjadikan
apa pun yang kau kehendaki,
lalu apa yang engkau takuti?”

“Dengan keajaiban sebanyak itu,
siapa gerangan di ke dua alam
yang tak dengan suka-rela bersedia
menjadi budakmu?”

Isa putra Maryam berkata,
“Demi Allah yang Maha Suci,
yang Menciptakan jasmani,
dan Menciptakan jiwa,
dengan semua keunggulannya. [3]

Demi Dzat Dia yang Suci dan Sifat-sifat-Nya,
yang karenanya baju pelindung al-Jannah
tanggal sampai ke pinggangnya,
disebabkan takjub.

Aku bersaksi, bahwa do'a-do'a-ku itu,
serta asma-Nya yang Teragung, [4]
yang telah kuucapkan kepada mereka
yang buta dan tuli;
sangatlah manjur.

Jika kuucapkan dzikir itu ke sebuah gunung,
akan terbelah dia,
robek jubahnya sampai ke dasar.

Jika kuucapkan itu ke sesosok mayit,
maka hiduplah dia.
Kuucapkan itu kepada ketiadaan,
maka menjadilah dia sesuatu.

Tetapi ketika kulantunkan do'a itu,
ribuan kali, dengan penuh kasih-sayang
ke hati seorang tolol,
tidaklah itu menjadi obat. [5]

Malahan hati itu mengeras bagai batu,
dan tetap membatu;
lalu menjadi seperti pasir,
yang di atasnya tiada satu benih pun
bisa tumbuh.”

Dengan heran orang itu bertanya lagi,
“Mengapa pada mujizat-mujizatmu,
do'a dengan asma Allah itu manjur,
sedangkan pada hati seorang tolol
itu tidak berpengaruh?
Bukankah itu suatu penyakit juga,
bahkan suatu musibah?”

Nabi Isa menjawab,
“Dungunya seorang tolol disebabkan
murka Allah yang teramat-sangat.
Musibah biasa seperti kebutaan
tidak bersumber dari murka Allah,
itu hanya ujian dan cobaan-Nya.”

Musibah berupa ujian dan cobaan,
pada akhirnya mengundang Rahmat-Nya.
Tapi kejahilan seorang tolol hanya membawa
pukulan dan luka.

Luka-berparut itu bersumber dari tutupan-Nya, [6]
tiada tangan penolong yang dapat mengobati.

Karenanya, menjauhlah dari orang tolol,
sebagaimana Isa telah menghindar;
persahabatan dengan orang jahil
telah banyak menimbulkan pertumpahan darah.

Udara menguapkan air perlahan-lahan,
orang tolol mencuri agamamu seperti itu.

Orang jahil mengganti kehangatanmu
dan membuatmu menggigil kedinginan.
Dibuatnya engkau dingin bagaikan batu.

Larinya Isa putra Maryam,
bukan karena ketakutan biasa seperti kita,
karena dia terlindungi dari hal-hal semacam itu.
Tetapi demi memberi kita suatu pelajaran. [7]

Walaupun seluruh alam membeku,
takkan itu membuat murung
Matahari yang bersinar terang. [8]
Catatan:
[1] “Ingatlah ketika al-Malaikat berkata: 
'Yaa Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakanmu 
dengan kalimah dari-Nya, namanya
al-Masih 'Isa putra Maryam,
seorang terkemuka di dunia dan diakhirat, dan termasuk
yang didekatkan.”

(QS [3]: 45)

[2] “Dan sebagai utusan bagi Bani Israil, 'Sesungguhnya aku
telah datang kepadamu membawa sebuah tanda dari Tuhanmu,
yaitu aku membuat untukmu suatu bentuk burung dari tanah-liat,
lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan
seizin Allah; aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan
yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang yang mati
dengan seizin Allah; dan aku kabarkan padamu apa yang kamu
makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu'
… “
(QS [3]: 49)


[3] Karenanya al-Malaikat diminta bersujud (QS [2]: 34)

[4] Asma-Nya yang Teragung (ismul-azham).
Secara umum nama “Allah” dipandang sebagai Nama Tuhan yang terbesar,
karena menghimpun 99
asmaul-husna nama-nama Tuhan lainnya yang
tak-terhingga.

Boleh jadi yang dimaksud disini adalah mengenai ajaran sementara Sufi
bahwa Allah mengizinkan sedikit diantara hamba-Nya yang terpilih untuk
mengetahui Nama-Nya yang paling agung (dan paling tersembunyi);
yang dengan menggunakan
asma itu mereka melakukan mujizat
(bagi para Nabi) dan
karamah (bagi para Wali).

Terkait dengan ini Rumi mengisahkan tentang seorang tolol yang meminta
Isa putra Maryam untuk mengajari
“asma tersembunyi yang dengan itu engkau
menghidupkan orang yang sudah mati” (
Matsnavi II: 142).

Karena si tolol ini ingin membangkitkan setumpuk tulang yang dilihatnya
dalam sebuah gua. Setelah menerima izin Allah, Isa putra Maryam mengucapkan
asma itu pada setumpuk tulang tersebut; seekor singa segera bangkit dari situ
dan memakan orang tolol tersebut.


Pada catatannya, Nicholson menjelaskan bahwa “asma tersembunyi” itu
maksudnya Nama Tuhan yang Teragung
(ismu'llahi'l-a'zhamu); secara umum
dipahami sebagai
“Allah”, dimana “Huwa” (Dia sebagai Dzaat) terliput di dalamnya.

Pengetahuan akan
asma ini merupakan sumber dari daya yang menghasilkan
mujizat dan karamah di kalangan para Nabi dan Wali, dan dapat ditransmisikan
kepada mereka yang terpilih.


[5] Nicholson mencatat salah satu ucapan di kalangan Muslim, yang merujuk
kepada Nabi Isa,
“Walaupun aku dapat melakukan keajaiban menghidupkan orang
yang sudah mati, aku tak berdaya menyembuhkan si tolol.” 



[6] “Katakanlah: Terangkanlah kepadaku, jika Allah mencabut
pendengaranmu dan penglihatanmu, dan menutup qalb-mu,
siapakah ilah selain Allah yang kuasa mengembalikannya
kepadamu …”
(QS [6]: 46)

[7] Pelajaran bagi manusia biasa sering disampaikan-Nya melalui kiprah para Nabi
dan Wali yang sepenuhnya berserah-diri kepada-Nya.

Dengan keakraban kepada Sang Pencipta dan melimpahnya pengetahuan Ilahiah
yang dianugerahkan, para Nabi dan Wali adalah yang paling sering “hadir semata
bersama-Nya saja” dalam shalat ataupun
khalwat mereka.

Justru pelajaran paling dasar ini yang sering terluput.

Terpesona pada mujizat atau karamah,  pelajaran malah sering terlewat.
[8] Isa putra Maryam a.s.  Kalimah-Nya  (realisasi Sabda-Nya), "yang terkemuka
di dunia dan di akhirat," seorang Nabi besar bagi kaum Muslim, yang dianugerahi
dan mewartakan tentang "Matahari Sejati" (Ruh al-Quds) di dalam diri insan sejati.



Sumber:
Rumi: Matsnavi III  2570 - 2599
Dari Mathnawi-ye Ma'nawi, terjemahan Ibrahim Gamard dari Bahasa Persia,
dengan memeriksa terjemahan pertama ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
.
Sumber Foto:
http://expositions.bnf.fr/parole/pedago/fiche_3.pdf?fbclid=IwAR1d_yWPhQKxTeCHKL4MDaRct4fdMSIuWuAi73ukKtdohphtiPQ4ubqn-fE