Selasa, 31 Mei 2011

Jadikan Anak Tangga

Ketika kau temui wajah kemarahan,
lihatlah ke baliknya,
dan akan kau dapati wajah bangga-diri.

Injaklah marah dan bangga-diri,
jadikan mereka anak-tangga,
dan panjatlah, naik.

Takkan pernah kau temui kedamaian,
sampai engkau menjadi tuan mereka.

Tanggalkan kemarahan:
rasanya manis,
tapi mematikan.

Jangan mau jadi korbannya,
kau perlukan kerendahan-hati
untuk memanjat ke arah kemerdekaan.


Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 2197
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Azima Melita Kolin
dan Maryam Mafi, dalam Rumi: Hidden Music,
HarperCollins Publishers Ltd, 2001.


Senin, 30 Mei 2011

Jika Berhasil Kau Kuasai Dirimu

Sahabatku, janganlah engkau merasa getir
segera engkau kan menyesalinya;
jaga kesatuan dirimu
jika tak ingin unsur dirimu bercerai-berai.

Jangan gontai kakimu,
melangkah dari taman ini;
atau akhirmu seperti burung hantu,
tinggal di reruntuhan tua. [1]

Terjunlah dalam perang,
jadilah ksatria bagaikan singa;
atau akhirmu seperti binatang peliharaan,
dikandangkan dalam gudang. [2]

Jika berhasil kau kuasai
jiwa-rendahmu yang egois itu,
seluruh kegelapanmu
akan berubah jadi cahaya.


Catatan:
[1] Tak ada pengetahuan baru tentang-Nya yang menyegarkan dirimu.

[2] Terpenjara dalam alam ragawi semata.


Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 3299
Diterjemahkan oleh Nader Khalili,
dalam Rumi: Fountain of Fire,
Cal-Earth Press, 1994

Sadarlah, Wahai Pejalan...

Jika engkau seorang pejalan yang sadar,
berjalanlah di jalan ini layaknya lelaki;
atau berhenti saja: jangan tinggalkan rumahmu,
karena engkau belum siap berperang. [1]

Para lelaki sejati meminum seribu lautan,
dan masih merasa haus; [2]
baru seteguk engkau diberi minum,
tapi lagakmu bagaikan telah penuh.

Engkau mendaku telah sampai tujuan,
tebaran debu ocehanmu mengangkasa; [3]
tapi tak bergerak engkau walau sejengkal,
tiada sedikitpun engkau tinggalkan tanda.

Berendah-hatilah layaknya debu,
dibawah derap langkah para lelaki sejati;
barulah akan bangkit engkau
dan jadi bagian perjalanan mereka.

Jika bertahun engkau merangkak,
di jalan pencarianmu;
jangan menyerah engkau pada kesedihan,
jangan tunduk engkau pada guncangan.


Catatan:
[1] Bandingkan misalnya dengan “... keluarlah dari kampung halamanmu ...” (QS [4]: 66).

[2] “Meminum,” diberi “pengalaman spiritual.” Para pencari sejati tak pernah hilang rasa hausnya walaupun mereka menerima banyak sekali pengalaman spiritual. Ini karena tunggalnya tujuan mereka: Allah yang Satu; bukan ciptaan atau kejadian yang beraneka-rupa, baik yang “nyata-jelas" ataupun yang sangat “spiritual”.

[3] Bukanlah pencari sejati jika merasa telah “besar.” Dampak dari besarnya (kesombongan), dengan keras diperingatkan: “... sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit.” (QS [7]: 40)


Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 3277
Diterjemahkan oleh Nader Khalili,
dalam Rumi: Fountain of Fire,
Cal-Earth Press, 1994

Selasa, 24 Mei 2011

Duri dan Mawar

Angkatlah kapakmu dan berperanglah,
bagaikan sayidina 'Ali meruntuhkan
gerbang Khaybar;
atau satukanlah duri-duri ini
dengan sekuntum mawar:
bawalah apimu kepada Cahaya Rabb,
agar lebur-lenyap apimu dalam Cahaya-Nya,
dan semua durimu berubah jadi mawar.

Sumber:
Rumi, Matsnavi II:1244-1246
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
Juga terdapat pada Jewels of Remembrance
oleh Camille dan Kabir Helminski,
berdasarkan terjemahan dari Bahasa Persia
oleh Yahya Monastra.

Rabu, 18 Mei 2011

Bersandarlah kepada Rencana-Nya

Wahai sahabat yang berpagi-pagi bangkit,
siapakah yang ketika menanti fajar, [1]
bertemu kami sedang menari berputar
bagaikan atom?

Siapakah yang beruntung:
yang ketika mencari air ke bibir sungai,
malah mendapati bayangan Sang Rembulan
di permukaannya? [2]

Apakah ada yang bagaikan Ya’qub:
ketika rindu harumnya Yusuf,
mencium baju gamisnya; [3]
malahan menemukan cahaya matanya itu.

Atau bagaikan seorang Arab Badui yang haus,
menurunkan timba ke dalam sumur,
lalu ketika diangkatnya, mendapatkan sosok
yang sedemikian indahnya. [4]

Atau seperti Musa, ketika melihat api,
lalu menembus semak-belukar
untuk mendapatkan manfaat api itu,
tiba-tiba menemukan ratusan fajar
dan matahari terbit. [5]

Isa masuk kedalam rumah
untuk menghindari kejaran musuh;
tiba-tiba dari rumah itu didapatinya
sebuah lorong menuju ke langit. [6]

Atau seperti Sulaiman
yang membelah seekor ikan,
dan dalam perut ikan itu menemukan
cincin kekuasaannya. [7]

Bersenjatakan sebilah pedang,
seorang Umar mencari Sang Nabi;
tapi dia malah jatuh dalam jaring jebakan Rabb,
dan menemukan keberuntungan tak terhingga.

Atau bagaikan Ibrahim ibn Adham:
mengincar seekor kijang ketika berburu,
malahan dia menemukan korban yang lain.

Atau seperti seekor kerang yang haus,
membuka cangkangnya untuk minum seteguk air,
dan menemukan sebutir mutiara
didalam dirinya sendiri. [8]

Atau bagaikan seorang lelaki yang mengembara
ke daerah terpencil, dan disana menemukan
warta harta karun. [9]

Para pencari, buatlah legendamu sendiri,
sehingga para sahabatmu maupun orang asing
dapat menemukan makna dari
“bukankah telah Kami lapangkan dadamu,”
tanpa perlu dibantu penjelasanmu. [10]

Barangsiapa menghampir kepada Syams at-Tabriz,
dengan tulus sepenuh hati,
akan mendapatkan sepasang sayap [11]
hadiah dari Sang Kekasih.


Catatan:
[1] Mereka yang “... memohon ampun di waktu fajar” (QS [3]: 17).

[2] Ketika hidupnya "dikeringkan," lalu sang pencari terus mencari “air" ilmu-ilmu ketuhanan, maka beruntunglah jika sang pencari menemukan “Sang Rembulan," Theophany. Bandingkan dengan Tingkatkanlah Kehausanmu (http://ngrumi.blogspot.com/2011/05/tingkatkanlah-kehausanmu.html).

Mengingatkan kepada sebuah hadits (Bukhari no 539, juga terdapat, antara lain, pada no 521, 6884, 6070)

“Kami sedang bersama Nabi saw, saat Beliau melihat rembulan di malam purnama. Kemudian Beliau saw berkata: ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihatnya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan melaksanakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah.’ Kemudian Beliau membaca, ‘Maka bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya’ (QS [50]: 39)”

[3] “... sesungguhnya aku mencium wangi Yusuf ...” (QS [12]: 94).

[4] Lihat QS [12]: 19.

[5] Lihat QS [20]: 9 - 10.

[6] Lihat QS [4]: 158.

[7] Raja Sulaiman a.s. pernah tertipu iblis dan kehilangan cincin kekuasaannya, sehingga dia terbuang dari istananya. Sebagai orang biasa dia bekerja sebagai nelayan. Sampai secara tak sengaja ditemukannya kembali cincin itu dalam perut ikan yang dijalanya.

[8] “Mutiara hakikat di dalam qalb” direfleksikan bayangannya sebagai mutiara dalam kerang yang hidup di dasar laut.

[9] Para pecinta dunia mengejar harta-karun emas, permata, berlian dari alam dunia ini; padahal itu hanya bayangan--walaupun seringkali dipakai sebagai 'umpan’ bagi pencari tingkat awal--dari harta-karun Sejati yang Sang Pencipta simpan di dalam qalb insan.

[10] Pengejawantahan dari QS [94]: 1 yang sangat terkenal itu.

[11] Sejatinya jiwa (nafs) itu warga alam malakut, seperti para malaikat. Jika jiwa telah kembali suci dan sungguh-sungguh berpengetahuan ketuhanan, maka dia jiwa mampu menjelajahi alam malakut untuk mencari pengetahuan lebih tinggi lagi. Ini adalah bagian dari mengikuti Milah Ibrahim, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahiim, malakut lelangit dan bumi, agar ia termasuk orang-orang al-Muuqiinin” (QS [6]: 75).

Sumber:
Rumi, Kulliyat-e Shams, Ghazal no 598
Badi-uz Zaman Furuzanfar (ed.)
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam Mystical Poems of Rumi, no 74

Minggu, 15 Mei 2011

Di Ambang-batas ke Dua Alam

Wahai para pecinta,
genderang langit telah memanggilku,
dan berseru: sudah saatnya kau tinggalkan
dunia ini.

Lihatlah!
Sang penunggang unta telah bangkit,
kafilah ini segera bertolak.
Dia berkata, “maafkan aku membangunkanmu ...
tapi, wahai peziarah, mengapa kau tertidur?
Karena di depan maupun di belakangmu
bel unta nyaring berbunyi.
Saatnya untuk berangkat.”

Pada setiap saat,
berangkat suatu jiwa mencari
dirinya sendiri.

Dari arah gemintang,
yang menggantung bagaikan rangkaian lilin,
dari lengkung biru langit:
turun lah jiwa-jiwa nan cantik;
dan Yang Tersembunyi menyingkapkan Diri.

Selama ini,
semesta dunia yang melengkung,
berputar-berayun,
telah menina-bobokkanmu.

Waspadailah hidup yang menggantung ini,
waspadailah dengkurmu yang berat.

Wahai qalb, carilah Sang Raja Qalb
Wahai awliya, carilah Sang Wali Abadi.
Wahai Sang Penjaga, selalulah waspada
seluruh negeri ini bisa terkalahkan,
jika engkau tertidur.

Malam ini,
ditingkahi hiruk-pikuk kota,
di tengah cahaya lilin dan obor;
Malam ini,
alam yang fana ini
akan melahirkan keabadian.

Dahulu engkau debu,
kini engkau Ruh.

Semula engkau jahil,
kini engkau bijak.

Tokoh yang membawamu kesini,
akan terus memandumu ke depan.

Apa yang menyakitimu
akan menjadi nikmat bagimu,
ketika Dia menarikmu kepada-Nya.

Jangan gentar,
nyalanya sejuk bagai air segar.

Menghidupkan jiwamu adalah
tugas suci-Nya.
Mematahkan rantai pengikatmu
adalah misi-Nya.

Wahai boneka dungu,
yang melompat dari kotakmu,
tentang dunia ini engkau menyeru nyaring:
milikku, milikku!

Tak hentinya engkau melompat-lompat gaduh.
Jika itu tak menyebabkan lehermu patah,
Dia yang akan mematahkannya.

Engkau hina makhluk lain,
dan kau tebar jaring tipu-daya.

Wahai pemalsu,
apakah menurutmu Rabb itu suatu mainan?

Wahai keledai,
tempatmu bersama jerami.

Wahai tungku,
sepantasnya engkau hitam-legam.

Wahai yang terbuang,
memang pantas engkau tinggal
di dasar sumur.

“Dalam diriku ada kekuatan suatu lain
yang melontarkan kata-kata tajam ini.
Cairan yang mendidih itu
disebabkan oleh api, bukan air.”

Tanganku tak menggenggam batu,
aku tak bermusuhan dengan seorang pun.
Tak kurendahkan siapa pun,
sebenarnya aku selembut kelopak mawar.

Sumber Tertinggi bicara melaluiku...
Engkau telah diberi sebuah isyarat--
cukuplah itu.

Kini aku duduk diam disini,
di ambang-batas ke dua alam.

Tenggelam dalam keelokan kesunyian.


Sumber:
Rumi, Kulliyat-e Shams, Ghazal no 1789
Badi-uz Zaman Furuzanfar (ed.)
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Jonathan Star,
dalam Rumi, In the Arms of the Beloved, hal 61.

Wafatnya Syaikh San'ai

“Syaikh San’ai telah wafat,” seseorang berkata.

Kematian seorang Syaikh seperti Beliau,
bukanlah suatu hal remeh.

Bukanlah dia itu segumpal bulu
yang melayang diterbangkan angin,
bukanlah pula dia seonggok genangan
yang beku di tengah musim dingin.
Bukanlah dia seperti gigi sisir
yang patah di tengah rambut.
Bukanlah dia sebutir biji
yang remuk di tanah.

Dia bagaikan sebongkah emas
di tengah setumpuk debu.
Sementara ke dua alam dinilainya
setara sebiji jagung.

Dilepaskannya raganya
kembali ke Bumi,
dan saksikanlah jiwanya melayang
naik ke al-Jannah.

Akan tetapi, ada Jiwa ke Dua,
tiada seorang awam menyadarinya.
Kubersaksi di hadapan Rabb,
yang satu itu langsung bergabung
dengan Sang Kekasih.

Apa yang semula bercampur,
kini terpisah: anggur murni naik ke puncak
ampasnya teronggok di dasar cawan.

Ketika tengah berada di perjalanan,
semua orang bergerak bersama--
warga Marv, Rayy, orang Kurdi dan Romawi.
Tetapi, masing-masing lalu kembali
ke kampung halamannya sendiri.
Tak akan sutra halus tetap terikat
kepada wol kasar.

Telah dicapainya tahapan pamungkas.
Kini Sang Raja telah menghapus namanya
dari buku berisikan daftar nama-nama.

Wahai Syaikh,
kini, ketika telah engkau tinggalkan dunia ini,
bagaimana kami dapat mencapaimu,
kecuali dalam senyap.

Sumber:
Rumi, Kulliyat-e Shams no 996,
Badi-uz Zaman Furuzanfar (ed).
Diterjemahkan ke Bahasa Inggris
oleh Jonathan Star, In the Arms of the Beloved, hal 178

Memandang kedalam Diri Sendiri

Ketika syaithan menengok ke sekitarnya,
dan didapatinya ada orang baik,
langsung dia merasa sakit,
karena iri-dengki;

Karena setiap yang terkutuk
dan tumpukan kayu bakarnya telah hangus
tak sudi melihat lilin orang lain dinyalakan.

Perhatikan dan teruslah
memperbaiki kelemahan dirimu.
Sehingga kebaikan orang lain
tak lagi menyakitimu.

Mohonlah agar ditanggalkan-Nya iri-dengkimu,
sehingga dialihkan-Nya engkau
dari memandang keluar diri,
kepada ketekunan didalam dirimu sendiri;
kiranya sedemikian rupa engkau terserap,
sehingga perhatianmu tak lagi berpaling.

Sumber:
Rumi, Matsnavi IV 2678 - 2682
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson,
dibandingkan dengan terjemahan Kabir dan Camille Helminski

Selasa, 10 Mei 2011

Tingkatkanlah Kehausanmu

Adalah kesakitan luar-biasa Siti Maryam,
yang membuat bayi Isa mulai berbicara
sejak dari buaian.

Apa pun yang tumbuh,
berkembang bagi kepentingan mereka yang perlu;
sehingga sang pencari dapat menemukan
apa yang dicarinya.

Rabb yang Maha Tinggi
telah menciptakan lelangit,
agar berbagai keperluan dapat terpenuhi.

Dimana ada sakit,
ke sana lah obat menuju;
dimana ada kefakiran,
ke situ rezeki mengalir.

Ketika muncul pertanyaan sulit,
ke situ lah jawaban bergerak;
dimana perahu berada,
ke situ lah air mengalir.

Tak perlu air dicari:
tingkatkanlah kehausanmu,
sampai air memancar dari atas dan bawah dirimu.

Ketika sang jabang bayi menangis kehausan,
barulah susu memancar dari dada ibunya.


Sumber:
Rumi, Matsnavi III 3204, 3208 - 3213
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Senin, 09 Mei 2011

Menyerahkan Hidupmu

Sungguh pantas orang yang murah hati
bersedekah, tetapi
kemurahan hati sang pencinta itu dengan
menyerahkan jiwanya.

Jika engkau berikan sepotong roti,
atas nama Rabb,
engkau akan diganjar
dengan melimpahnya roti.

Jika engkau serahkan hidupmu
bagi Rabb,
kepadamu akan diberikan Hidup Sejati.



Sumber:
Rumi, Matsnavi  III: 2895 - 2897
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Belajar Bersyukur

Bersyukur atas nikmat yang melimpah
lebih penting daripada kelimpahan itu sendiri;

Apakah pantas bagi pencari,
yang telah terserap oleh Yang Maha Pemurah,
teralihkan oleh pemberian-Nya?

Bersyukur itu jiwa dari kepemurahan,
kelimpahan hanya wewanginya saja;
karena kebersyukuran akan membawamu
ke tempat Sang Kekasih.

Kelimpahan bisa membuatmu lalai,
bersyukur menjagamu tetap waspada.

Tangkaplah karunia-Nya
dengan jaring kebersyukuran.



Catatan:
[1]  "... Sesungguhnya jika engkau bersyukur niscaya Kami tambahkan (nikmat) kepadamu.."
(QS Ibrahiim [14] 7)


[2] "Dan seandainya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya itu dengan suatu takaran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat. Dan Dia-lah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa, serta menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah Maha Pelindung lagi Maha Terpuji."
(QS Asy-Syura' [42]: 27 - 28)


Sumber:
Rumi, Matsnavi III: 2895 - 2897
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Menghadapkan Wajah kepada Sang Kekasih


Semua orang sibuk di dunia ini.
Ada yang sibuk dengan cintanya pada para wanita, ada yang asyik dengan hartanya, mencari uang, atau belajar--dan semuanya percaya bahwa kemaslahatan dan kebahagiaannya bergantung pada apa yang dicarinya. Dan itu semua juga merupakan rahmat Allah.


Ketika seorang manusia mencari sesuatu yang dikira dibutuhkannya, lalu tak ditemukannya, dia akan membelakangi hal itu. Setelah jeda mencari sejenak dia akan berkata: “Kebahagiaan dan rahmat mesti dicari. Mungkin aku masih kurang keras berupaya. Kalau begitu, akan kuusahakan terus.”

Ketika dia terus mencari, dan yang dicarinya itu masih juga belum ditemukannya, dia terus berupaya, sampai rahmat itu tersingkap mewujud kepadanya. Barulah disadarinya, selama ini dia berada di jalur yang salah.

Sungguhpun demikian, Allah memiliki beberapa hamba yang dianugerahi penglihatan yang jernih, bahkan sebelum tiba Hari ad-Diin. Sayidina Ali kw, misalnya, berkata: “Jika hijab diangkat, tidaklah aku menjadi lebih yakin.” Maksud Beliau adalah jika cangkang alam dunia ini lenyap dan Hari tersebut tiba, tidaklah itu meningkatkan keyakinan yang telah dipunyainya.

Tentang daya persepsi itu, bayangkanlah tentang sekelompok orang yang pada suatu malam berdo’a dalam sebuah kamar yang gelap, masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda. Ketika pagi tiba, semua orang meluruskan arahnya menghadap; kecuali seorang lelaki yang telah sepanjang malam lurus menghadap ke arah Mekah. Lelaki itu tak perlu lagi membenahi arahnya menghadap. [1]

Para hamba sejati Allah menghadapkan wajah mereka kepada Allah sepanjang malam: mereka telah berpaling dari semua hal kecuali wajah-Nya. Bagi mereka Hari ad-Diin itu telah hadir kini. [2]

Dalam diri setiap manusia terdapat cinta, sakit, kehendak, hasrat sedemikian rupa sehingga jika seandainya dia memiliki seratus ribu semesta, tetap tak akan ditemukannya ketenangan. Orang mengerjakan aneka macam profesi, keahlian, menyalurkan berbagai jenis bakat, dan mereka belajar ilmu kedokteran, astrologi dan aneka macam ilmu lain; tapi tak mereka dapatkan kebahagiaan, karena apa yang mereka cari tidak ditemukan.

Sang Kekasih dipanggil dil-aram [3] karena melalui Sang Kekasih lah qalb menemukan kedamaian. Karenanya, tentunya tidaklah mungkin qalb menemukan kedamaian jika dicarinya melalui sesuatu selain Dia. Semua kegembiraan yang lain dan obyek-obyek pencarian yang lain itu bagaikan sebuah tangga. Anak-anak-tangga itu untuk diinjak dan dilalui, bukan untuk ditinggali. Semakin cepat seseorang bangun dan tersadar, semakin ringkas jalan; dan semakin sedikit waktu yang disiakan pada “anak-anak-tangga.”


Catatan:
[1] Mengingatkan kepada, “Dan darimana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja engkau berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu ..." (QS [2]: 150)

[2] Bandingkan dengan, “Dan siapakah yang lebih baik diin-nya, daripada yang menyerahkan wajahnya lillah, ..." (QS [4]: 125).

[3] Dil-aram, secara harfiah berarti, “sesuatu yang memberi qalb ketenangan,” sebuah istilah umum bagi Sang Kekasih.


Sumber: 
Rumi: Fihi ma Fihi #15 terjemahan Kabir Helminski.