Kamis, 16 Februari 2012

Kembalilah ke Langit

Setiap saat,
sebuah seruan dari langit
menyapa inti jiwa sang lelaki pencari:
Sampai kapan engkau melekat ke bumi,
seperti buih. Naiklah ke langit!


Mereka yang jiwanya berat
tetap lekat menempel bagai buih;
hanya jika termurnikan
ia dapat mengalir ke atas.

Jika kau tak terus-menerus
mengaduk tanah-liatmu,
airmu akan perlahan menjernih,
dan buihmu tercahayai,
maka sakitmu terobati.

Seperti obor,
hanya lebih banyak asapnya
daripada apinya,
asapnya menyebar kesana kemari,
sehingga ruang di dalam jasmani,
tempat jiwa terpenjara,
tak lagi bersinar.

Jika kau hilangkan asapnya

kau dapat nikmati kembali
nyala api obor;
tempatmu di semesta ini
dan semesta-semesta mendatang
akan terterangi oleh cahayamu itu.

Jika kau menatap pada air keruh,
tak kelihatan disitu rembulan atau langit;
matahari dan rembulan menghilang
ketika kegelapan menyelimuti udara.

Dari utara angin bertiup
menyibak udara hingga jernih;
datangnya pada fajar hari,
usapannya melapangkan dada.

Tiupan ruhaniyah melegakan dada
menyingkirkan semua kesedihan;
biarkanlah nafas berhenti barang sejenak,
agar fana' menggenggam,
jiwa lebur dalam ketiadaan.

Sang Jiwa,
warga asing pendatang di bumi ini,
selalu rindu pada semesta ketiadaan;
sambil heran mendapati jiwa hewaniyah
begitu senang merumput di padang alam dunia.

Wahai Jiwa murni yang mulia,
sampai kapan kau tinggal disini?

Engkaulah elang Sang Raja,
kembalilah: penuhi isyarat panggilan
Sang Penguasa.

Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 26.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arbery
dalam Mystical Poems of Rumi 1,
The University of Chicago Press, 1968.

1 komentar:

KISAH SUKSES IBU HERAWATI mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.