Jumat, 07 September 2012

Adab Bersantap



Sang Quthb itu bagaikan singa,
berburu merupakan urusannya;
yang lainnya--para pejalan--
memakan sisa-sisanya.

Sejauh kemampuanmu,
upayakanlah memuaskan sang Quthb,
sehingga dia mendapat kekuatan
dan memburu binatang-binatang buas.

Ketika dia sakit,
mereka jadi tak ternafkahi,
karena semua makanan
yang disediakan bagi kerongkongan
datang dari tangan sang Akal.

Mengingat pengalaman ruhaniyah
yang terjadi pada orang-orang lain
hanyalah sisa-sisanya,
maka camkanlah hal ini;
jika hatimu juga mengidamkan
hidangan ruhaniyah.

Dia bagaikan sang Akal,
sedangkan para pejalan itu
bagaikan anggota-anggota tubuh:
pengaturan tubuh itu bergantung
kepada sang Akal.

Kelemahan sang Quthb
terletak pada tubuhnya,
dan bukan bersifat ruhaniyah;
kelemahan itu pada bahtera,
bukannya pada Nuh.

Sang Quthb berputar
mengedari dirinya sendiri,
sementara di sekitarnya berputar
benda-benda angkasa.

Ulurkanlah bantuan
untuk memperbaiki jasmaninya,
jadilah pelayannya yang terkasih,
dan hambanya yang patuh.

Sejatinya, bantuan itu
suatu keuntungan bagimu,
bukan baginya;
Allah telah bersabda:
"Jika engkau menolong Allah,
maka engkau akan ditolong."             
[1]


Catatan:
[1]     QS Muhammad [47]: 7.

Ilustrasi:
Foto patung "Dedaunan Jatuh," karya Nyoman Nuarta, Bandung.

Sumber:
Rumi: Matsnavi  V: 2339 - 2347
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Rabu, 05 September 2012

Yang Bangkit dari Abu Penyatuan


Wahai jiwa,
engkau lah burung Phoenix,
yang bangkit dari abu penyatuan.
Mengapa tak terbang mengangkasa?
-- di bumi engkau tak dikenal.


Kau cicipkan rasa-manis ke dalam hati;
seraya kau remukkan ribuan hati dengan pesonamu.

Saat ini kau tinggal di dalam raga,
tapi ada saat ketika kau lewati lelangit,
kau tembus batas-batas semesta.

Apa sulitnya ruh menemuimu?
--bukankah engkau sayap dan bulunya.

Mengapa pandangan tak melihatmu?
--bukankah engkau sumber penglihatan.


Apa yang akan terjadi pada jiwa tembagamu,
ketika sang Ahli Kimia tiba?
--bukankah akan diubah jiwamu menjadi emas.

Apa yang akan terjadi pada bibitmu yang kecil
ketika tiba musim semi?
--bukankah dari sana kan tumbuh pohon menjulang.

Apa yang akan terjadi pada kayu bakar,
ketika dimasukkan ke dalam api?
--bukankah nyalanya kan menjilat ke langit.

Jangkauan cahaya nalar bagai pendar redup
bintang-bintang di kejauhan.

Sementara engkau bagai terang matahari
yang menembus, lewati semua hijab.

Dunia ini seperti kabut dan es,
sementara engkau bagai musim panas membakar.

Wahai Sang Raja,
tiada serpih dunia ini yang tersisa,
ketika engkau tiba.

Siapa yang dapat duduk di sisimu,
semuanya musnah dengan satu lirikanmu.

Wahai mata yang terberkati,
telah kulihat sesuatu yang tak terkhayalkan,
tak terjangkau oleh keberuntungan
apalagi hanya dengan upaya:
pernah kutatap keindahan sempurna
wajah Syamsuddin at-Tabriz.



Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal no 3071
dari versi terjemahan ke Bahasa Inggris oleh
Jonathan Star, Rumi - In the Arms of the Beloved
Jeremy P. Tarcher/Putnam, New York 1997.