Jumat, 11 November 2011

Harta Karun Dibawah Rumah



Hancurkan rumahmu,    [1]
karena seratus-ribu rumah bisa dibangun
dari bebatuan murah ini.

Harta-karun terletak di bawah rumah, [2]

tiada jalan lain mencapainya:
jangan ragu, hancurkan rumah,
jangan berpangku-tangan saja.

Sekali kau raih harta-karun itu,  
mudah saja membangun ribuan rumah
tanpa susah-payah.

Ketika sakaratul-maut tiba,
rumah ini akan hancur dengan sendirinya,
dan harta-karun dibawahnya pastilah takkan terungkap,
maka harta-karun itu tak pernah kau dapat;
karena jiwamu mendapat anugerah Ilahiah 
sebagai upah dari upayamu menghancurkan rumah.


Tanpa amal itu, tiada ganjaran:
Tiada sesuatu pun dijumpai manusia di akhirat
kecuali balasan dari amalnya.   [3]


Catatan:
[1]  Di alam-dunia ini jiwa ditempatkan dalam raga,
itulah rumahnya. Sehingga "menghancurkan rumah" itu 
dapat dibaca: "menundukkan karsa raga dalam cahaya sunnah 
Muhammad SAW."


[2]  Mengingatkan salah satu kisah sangat terkenal, yang
direkam dalam ayat  (QS [18]: 77) "... keduanya 
mendapatkan dalam negeri itu ada dinding rumah yang hampir 
roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu ..;" menegakkan 
syariah bagi keperluan anak kecil (jiwa) yang diwarisi 
rumah itu. Ditekankan pula bahwa penegakkan syariah bagi
perlindungan-pendewasaan jiwa haruslah tulus tanpa berharap 
diberi upah. Ucapan, "... jika kau mau, niscaya engkau
engkau mengambil upah untuk itu." (QS [18]: 77) adalah
isyarat bagi Khidir a.s. untuk berpisah dengan Musa a.s. 
yang ketika itu sedang belajar darinya.
Jika para pejalan membahas "harta-karun" itu berkaitan 

dengan "amanah" (QS [33]: 72) yang telah diterima 
"Perjanjiannya" (QS [7]: 172).


[3] "... dan disempurnakan kepada tiap diri balasan dari
apa-apa yang diusahakannya ..." (QS [3]: 25)


Sumber:
Rumi, Matsnavi  IV: 2540-2545

Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Camille dan Kabir Helminski
dalam Rumi: Jewels of Remembrance, Threshold Books, 1996.
Berdasarkan terjemahan dari Bahasa Persian oleh Yahya Monastra.



Rabu, 09 November 2011

Mereka yang Telah Mati

Para pencinta,
yang dengan ikhlas
mati dari diri mereka sendiri:
mereka bagaikan gula,
di hadapan Sang Kekasih.

Pada Hari Perjanjian,  [1]

mereka minum Air Kehidupan,
sehingga matinya jiwa mereka
tak seperti kematian orang lain.

Karena mereka telah dibangkitkan dalam Cinta,

kematian mereka tak seperti
orang kebanyakan.

Dengan kelembutan-Nya,

mereka telah melampaui tingkat para malaikat;
sama sekali tak bisa kematian mereka
dibandingkan dengan orang kebanyakan.

Apakah kau sangka Singa mati bagai anjing,

jauh dari hadirat-Nya? [2]

Ketika para pencinta mati di tengah Jalan,

Sang Raja Ruhaniah berlari menyambut. [3]

Ketika mereka mati di kaki Sang Rembulan, [4]

mereka menyala bagaikan Matahari. [5]

Jiwa para pencinta sejati itu bersatu

mereka mati dalam saling mencintai. [6]

Derai embun Cinta membasuh jantung mereka,

mereka sampai pada kematian
dengan hati berdarah-darah.

Setiap mereka,

mutiara yatim tiada tara,
tidaklah mereka mati di sisi ayah-ibunya.

Para pencinta terbang menembus lelangit,

para pembangkang terpanggang dalam Api.

Para pencinta terpana menatap yang tak-terlihat,

selain mereka, semua mati dalam buta-tuli.

Sepanjang hidupnya, para pencinta ketakutan,

karenanya mereka berjaga menghidupkan malam; [7]
kini mereka mati tanpa takut atau bahaya.

Mereka yang disini memuja dunia,

hidup bagaikan ternak, [8]
dan akan mati seperti keledai.

Mereka yang hari ini mendamba wajah-Nya,

akan mati berbahagia,
gembira dengan apa yang mereka lihat.

Sang Raja menempatkan mereka

di sisi Rahmat-Nya;
mereka tak mati dengan hina.

Mereka yang meneladan kebajikan Muhammad,

akan mati bagai Abu Bakar atau Umar.

Jiwa-jiwa mereka sama sekali tak tersentuh

kematian ataupun kehancuran. [9]

Bahkan kudendangkan ode ini

kepada mereka yang menyangka
jiwa-jiwa mereka telah mati.


Catatan:
[1] QS [7]: 172.

[2] Mengingatkan kepada sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar “Singa Allah.”


[3] Sambutan Sang Pemimpin tertinggi para pecinta Tuhan, Rasulullah SAW, yang mengingatkan kita pada sebuah Hadits Qudsi, “... dan jika dia kembali kepada-Ku berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” (HQR Syaikhani dan Turmudzi dari Abu Hurairah r.a).


[4] Kematian diri sang pencari dalam cahaya sunnah Al-Mustapha.


[5] Terbitnya Matahari dalam diri.


[6] “Berhak akan Cinta-Ku, mereka yang saling cinta dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang menghubungkan silatur-rahim dalam-Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menasehati dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menziarahi dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling memberi dalam Kami. Mereka yang saling cinta didalam Kami dan atas Kami akan disuruh berdiri di atas mimbar cahaya yang diinginkan pada nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HQR Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Qudla'i yang bersumber dari 'Ubadah bin Shamit r.a)


[7] “... mereka yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS [3]: 17)


[8] “... bagaikan binatang ternak ...” (QS [7]: 179)


[9] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS [3]: 169)



Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 972
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh
William C. Chittick
dalam
The Sufi Path of Love,
SUNY Press, Albany, 1983.