Hancurkan rumahmu, [1]
karena seratus-ribu rumah bisa dibangun
dari bebatuan murah ini.
Harta-karun terletak di bawah rumah, [2]
tiada jalan lain mencapainya:
jangan ragu, hancurkan rumah,
jangan berpangku-tangan saja.
Sekali kau raih harta-karun itu,
mudah saja membangun ribuan rumah
tanpa susah-payah.
Ketika sakaratul-maut tiba,
rumah ini akan hancur dengan sendirinya,
dan harta-karun dibawahnya pastilah takkan terungkap,
maka harta-karun itu tak pernah kau dapat;
karena jiwamu mendapat anugerah Ilahiah
sebagai upah dari upayamu menghancurkan rumah.
Tanpa amal itu, tiada ganjaran:
Tiada sesuatu pun dijumpai manusia di akhirat
kecuali balasan dari amalnya. [3]
Catatan:
[1] Di alam-dunia ini jiwa ditempatkan dalam raga,
itulah rumahnya. Sehingga "menghancurkan rumah" itu
dapat dibaca: "menundukkan karsa raga dalam cahaya sunnah
Muhammad SAW."
[2] Mengingatkan salah satu kisah sangat terkenal, yang
direkam dalam ayat (QS [18]: 77) "... keduanya
mendapatkan dalam negeri itu ada dinding rumah yang hampir
roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu ..;" menegakkan
syariah bagi keperluan anak kecil (jiwa) yang diwarisi
rumah itu. Ditekankan pula bahwa penegakkan syariah bagi
perlindungan-pendewasaan jiwa haruslah tulus tanpa berharap
diberi upah. Ucapan, "... jika kau mau, niscaya engkau
engkau mengambil upah untuk itu." (QS [18]: 77) adalah
isyarat bagi Khidir a.s. untuk berpisah dengan Musa a.s.
yang ketika itu sedang belajar darinya.
Jika para pejalan membahas "harta-karun" itu berkaitan
dengan "amanah" (QS [33]: 72) yang telah diterima
"Perjanjiannya" (QS [7]: 172).
[3] "... dan disempurnakan kepada tiap diri balasan dari
apa-apa yang diusahakannya ..." (QS [3]: 25)
Sumber:
Rumi, Matsnavi IV: 2540-2545
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Camille dan Kabir Helminski
dalam Rumi: Jewels of Remembrance, Threshold Books, 1996.
Berdasarkan terjemahan dari Bahasa Persian oleh Yahya Monastra.
Para pencinta,
yang dengan ikhlas
mati dari diri mereka
sendiri:
mereka bagaikan gula,
di hadapan Sang Kekasih.
Pada
Hari Perjanjian, [1]
mereka minum Air
Kehidupan,
sehingga matinya jiwa mereka
tak seperti kematian
orang lain.
Karena mereka telah dibangkitkan dalam
Cinta,
kematian mereka tak seperti
orang kebanyakan.
Dengan
kelembutan-Nya,
mereka telah melampaui tingkat para malaikat;
sama
sekali tak bisa kematian mereka
dibandingkan dengan orang
kebanyakan.
Apakah kau sangka Singa mati bagai anjing,
jauh
dari hadirat-Nya? [2]
Ketika
para pencinta mati di tengah Jalan,
Sang Raja Ruhaniah berlari
menyambut. [3]
Ketika mereka mati di kaki Sang
Rembulan, [4]
mereka menyala bagaikan Matahari.
[5]
Jiwa para pencinta sejati itu bersatu
mereka mati dalam
saling mencintai. [6]
Derai embun Cinta membasuh
jantung mereka,
mereka sampai pada kematian
dengan hati
berdarah-darah.
Setiap mereka,
mutiara yatim tiada
tara,
tidaklah mereka mati di sisi ayah-ibunya.
Para
pencinta terbang menembus lelangit,
para pembangkang terpanggang
dalam Api.
Para pencinta terpana menatap yang
tak-terlihat,
selain mereka, semua mati dalam
buta-tuli.
Sepanjang hidupnya, para pencinta
ketakutan,
karenanya mereka berjaga menghidupkan malam; [7]
kini mereka mati tanpa takut atau bahaya.
Mereka yang
disini memuja dunia,
hidup bagaikan ternak,
[8]
dan akan mati seperti keledai.
Mereka
yang hari ini mendamba wajah-Nya,
akan mati berbahagia,
gembira
dengan apa yang mereka lihat.
Sang Raja menempatkan mereka
di
sisi Rahmat-Nya;
mereka tak mati dengan hina.
Mereka yang
meneladan kebajikan Muhammad,
akan mati bagai Abu Bakar atau
Umar.
Jiwa-jiwa mereka sama sekali tak tersentuh
kematian
ataupun kehancuran. [9]
Bahkan kudendangkan
ode ini
kepada mereka yang menyangka
jiwa-jiwa mereka telah
mati.
Catatan:
[1] QS [7]: 172.
[2]
Mengingatkan kepada sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar
“Singa Allah.”
[3] Sambutan Sang Pemimpin tertinggi para
pecinta Tuhan, Rasulullah SAW, yang mengingatkan kita pada sebuah
Hadits Qudsi, “... dan jika dia kembali kepada-Ku berjalan, maka
Aku mendatanginya dengan berlari” (HQR Syaikhani dan Turmudzi
dari Abu Hurairah r.a).
[4] Kematian diri sang pencari dalam
cahaya sunnah Al-Mustapha.
[5] Terbitnya Matahari dalam
diri.
[6] “Berhak akan Cinta-Ku, mereka yang saling
cinta dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang menghubungkan
silatur-rahim dalam-Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang
saling menasehati dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang
saling menziarahi dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang
saling memberi dalam Kami. Mereka yang saling cinta didalam Kami dan
atas Kami akan disuruh berdiri di atas mimbar cahaya yang diinginkan
pada nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HQR Ahmad, Ibnu Hibban,
al-Hakim dan al-Qudla'i yang bersumber dari 'Ubadah bin Shamit r.a)
[7] “... mereka yang memohon ampun di waktu sahur.”
(QS [3]: 17)
[8] “... bagaikan binatang ternak ...” (QS
[7]: 179)
[9] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati;
bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki.” (QS [3]: 169)
Sumber:
Rumi:
Divan-i
Syamsi Tabriz,
Ghazal
no 972
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William
C. Chittick
dalam
The
Sufi Path of Love,
SUNY
Press, Albany, 1983.