Jumat, 16 September 2011

Bahkan Isa putra Maryam pun Menyingkir




Inilah kisah tentang Isa putra Maryam,
ketika dia menghindar dari orang-orang dungu,
menjauh, hendak mengungsi,
ke puncak sebuah gunung.

Isa putra Maryam bergegas-cepat
mendaki sebuah gunung.
Sedemikian bergegas,
bagaikan dikejar seekor singa.

Seseorang mengejarnya, dan menyapanya,
“Salam untukmu.
Tak kulihat sesuatu pun mengejarmu,
mengapa engkau begitu terburu-buru?”

Tetapi Beliau tetap berlari,
sedemikian terburu-buru,
tak mau berhenti untuk menjawab.

Sang penanya bersikeras,
terus dikejarnya Sang Nabi itu.
Lalu, dia bertanya lagi,
kali ini sampai harus berteriak:

“Demi Tuhan,” serunya,
“berhentilah sebentar!”
“Sungguh aku bingung,
apa yang membuatmu melarikan diri?”

“Wahai Nabi nan mulia dan pemurah,
Apa yang membuatmu bergegas-lari?
Tak ada singa mengejarmu.
Tiada pula ancaman atau wabah?”

Sang Nabi menjawab,
“Aku melarikan diri dari seorang yang tolol.
Pergilah! Sedang kukhawatirkan keselamatanku,
janganlah kau tahan aku lagi!”

Orang itu bertanya lagi,
“Tapi, bukankah engkau al-Masih, [1]
bukankah engkau yang menyembuhkan
orang yang buta dan tuli?”

“Betul,” jawabnya.

Orang itu bertanya lagi,
“Bukankah engkau Sang Raja Spiritual?
Bukankah dalam dirimu tersimpan do'a
dan permohonan dari alam tak-nampak?”

“Bukankah jika kau berdo'a pada sesosok mayat,
dia langsung bangkit dengan trengginas,
bagaikan gesitnya seekor singa menggondol
korbannya?”

“Betul,” jawabnya,
“Aku lah orang yang kau maksud.”

Orang itu masih penasaran,
“Wahai tuan yang tampan,
bukankah engkau yang menghidupkan
burung dari tanah-liat?” [2]

“Betul,” jawabnya

“Wahai Ruh Murni,
bukankah engkau bisa menjadikan
apa pun yang kau kehendaki,
lalu apa yang engkau takuti?”

“Dengan keajaiban sebanyak itu,
siapa gerangan di ke dua alam
yang tak dengan suka-rela bersedia
menjadi budakmu?”

Isa putra Maryam berkata,
“Demi Allah yang Maha Suci,
yang Menciptakan jasmani,
dan Menciptakan jiwa,
dengan semua keunggulannya. [3]

Demi Dzat Dia yang Suci dan Sifat-sifat-Nya,
yang karenanya baju pelindung al-Jannah
tanggal sampai ke pinggangnya,
disebabkan takjub.

Aku bersaksi, bahwa do'a-do'a-ku itu,
serta asma-Nya yang Teragung, [4]
yang telah kuucapkan kepada mereka
yang buta dan tuli;
sangatlah manjur.

Jika kuucapkan dzikir itu ke sebuah gunung,
akan terbelah dia,
robek jubahnya sampai ke dasar.

Jika kuucapkan itu ke sesosok mayit,
maka hiduplah dia.
Kuucapkan itu kepada ketiadaan,
maka menjadilah dia sesuatu.

Tetapi ketika kulantunkan do'a itu,
ribuan kali, dengan penuh kasih-sayang
ke hati seorang tolol,
tidaklah itu menjadi obat. [5]

Malahan hati itu mengeras bagai batu,
dan tetap membatu;
lalu menjadi seperti pasir,
yang di atasnya tiada satu benih pun
bisa tumbuh.”

Dengan heran orang itu bertanya lagi,
“Mengapa pada mujizat-mujizatmu,
do'a dengan asma Allah itu manjur,
sedangkan pada hati seorang tolol
itu tidak berpengaruh?
Bukankah itu suatu penyakit juga,
bahkan suatu musibah?”

Nabi Isa menjawab,
“Dungunya seorang tolol disebabkan
murka Allah yang teramat-sangat.
Musibah biasa seperti kebutaan
tidak bersumber dari murka Allah,
itu hanya ujian dan cobaan-Nya.”

Musibah berupa ujian dan cobaan,
pada akhirnya mengundang Rahmat-Nya.
Tapi kejahilan seorang tolol hanya membawa
pukulan dan luka.

Luka-berparut itu bersumber dari tutupan-Nya, [6]
tiada tangan penolong yang dapat mengobati.

Karenanya, menjauhlah dari orang tolol,
sebagaimana Isa telah menghindar;
persahabatan dengan orang jahil
telah banyak menimbulkan pertumpahan darah.

Udara menguapkan air perlahan-lahan,
orang tolol mencuri agamamu seperti itu.

Orang jahil mengganti kehangatanmu
dan membuatmu menggigil kedinginan.
Dibuatnya engkau dingin bagaikan batu.

Larinya Isa putra Maryam,
bukan karena ketakutan biasa seperti kita,
karena dia terlindungi dari hal-hal semacam itu.
Tetapi demi memberi kita suatu pelajaran. [7]

Walaupun seluruh alam membeku,
takkan itu membuat murung
Matahari yang bersinar terang. [8]
Catatan:
[1] “Ingatlah ketika al-Malaikat berkata: 
'Yaa Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakanmu 
dengan kalimah dari-Nya, namanya
al-Masih 'Isa putra Maryam,
seorang terkemuka di dunia dan diakhirat, dan termasuk
yang didekatkan.”

(QS [3]: 45)

[2] “Dan sebagai utusan bagi Bani Israil, 'Sesungguhnya aku
telah datang kepadamu membawa sebuah tanda dari Tuhanmu,
yaitu aku membuat untukmu suatu bentuk burung dari tanah-liat,
lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan
seizin Allah; aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan
yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang yang mati
dengan seizin Allah; dan aku kabarkan padamu apa yang kamu
makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu'
… “
(QS [3]: 49)


[3] Karenanya al-Malaikat diminta bersujud (QS [2]: 34)

[4] Asma-Nya yang Teragung (ismul-azham).
Secara umum nama “Allah” dipandang sebagai Nama Tuhan yang terbesar,
karena menghimpun 99
asmaul-husna nama-nama Tuhan lainnya yang
tak-terhingga.

Boleh jadi yang dimaksud disini adalah mengenai ajaran sementara Sufi
bahwa Allah mengizinkan sedikit diantara hamba-Nya yang terpilih untuk
mengetahui Nama-Nya yang paling agung (dan paling tersembunyi);
yang dengan menggunakan
asma itu mereka melakukan mujizat
(bagi para Nabi) dan
karamah (bagi para Wali).

Terkait dengan ini Rumi mengisahkan tentang seorang tolol yang meminta
Isa putra Maryam untuk mengajari
“asma tersembunyi yang dengan itu engkau
menghidupkan orang yang sudah mati” (
Matsnavi II: 142).

Karena si tolol ini ingin membangkitkan setumpuk tulang yang dilihatnya
dalam sebuah gua. Setelah menerima izin Allah, Isa putra Maryam mengucapkan
asma itu pada setumpuk tulang tersebut; seekor singa segera bangkit dari situ
dan memakan orang tolol tersebut.


Pada catatannya, Nicholson menjelaskan bahwa “asma tersembunyi” itu
maksudnya Nama Tuhan yang Teragung
(ismu'llahi'l-a'zhamu); secara umum
dipahami sebagai
“Allah”, dimana “Huwa” (Dia sebagai Dzaat) terliput di dalamnya.

Pengetahuan akan
asma ini merupakan sumber dari daya yang menghasilkan
mujizat dan karamah di kalangan para Nabi dan Wali, dan dapat ditransmisikan
kepada mereka yang terpilih.


[5] Nicholson mencatat salah satu ucapan di kalangan Muslim, yang merujuk
kepada Nabi Isa,
“Walaupun aku dapat melakukan keajaiban menghidupkan orang
yang sudah mati, aku tak berdaya menyembuhkan si tolol.” 



[6] “Katakanlah: Terangkanlah kepadaku, jika Allah mencabut
pendengaranmu dan penglihatanmu, dan menutup qalb-mu,
siapakah ilah selain Allah yang kuasa mengembalikannya
kepadamu …”
(QS [6]: 46)

[7] Pelajaran bagi manusia biasa sering disampaikan-Nya melalui kiprah para Nabi
dan Wali yang sepenuhnya berserah-diri kepada-Nya.

Dengan keakraban kepada Sang Pencipta dan melimpahnya pengetahuan Ilahiah
yang dianugerahkan, para Nabi dan Wali adalah yang paling sering “hadir semata
bersama-Nya saja” dalam shalat ataupun
khalwat mereka.

Justru pelajaran paling dasar ini yang sering terluput.

Terpesona pada mujizat atau karamah,  pelajaran malah sering terlewat.
[8] Isa putra Maryam a.s.  Kalimah-Nya  (realisasi Sabda-Nya), "yang terkemuka
di dunia dan di akhirat," seorang Nabi besar bagi kaum Muslim, yang dianugerahi
dan mewartakan tentang "Matahari Sejati" (Ruh al-Quds) di dalam diri insan sejati.



Sumber:
Rumi: Matsnavi III  2570 - 2599
Dari Mathnawi-ye Ma'nawi, terjemahan Ibrahim Gamard dari Bahasa Persia,
dengan memeriksa terjemahan pertama ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
.
Sumber Foto:
http://expositions.bnf.fr/parole/pedago/fiche_3.pdf?fbclid=IwAR1d_yWPhQKxTeCHKL4MDaRct4fdMSIuWuAi73ukKtdohphtiPQ4ubqn-fE


Jumat, 09 September 2011

Lintasilah ke Dua Alam


Setiap saat,
dari berbagai arah,
himbauan Sang Kekasih menyerumu.

Ke al-Jannah seyogyanya kita menuju:
tak elok jika ke alam-dunia ini hanya untuk
berjalan-jalan.

Pernah kita disana,
bersobat dengan para malaikat.

Karenanya, wahai pejalan,
mari kita kembali kesana,
itulah tempat kita yang sebenarnya.

Bahkan semestinya,
lebih tinggi daripada Taman itu;
hakikinya, insan sejati itu lebih tinggi
daripada malaikat.

Mengapa ke dua alam ini                                       1)
tak segera kita lintasi saja?
Tujuan kita adalah keagungan puncak.

Sungguh berbeda sumbernya:
alam tanah-liat ini,
dengan inti cahaya insan.

Memang dulu kita telah diperintahkan turun,     2)
kini mari kita bergegas naik,
mengapa berlama-lama disini.

Segarnya keberuntungan adalah sahabat kita:
berserah-diri adalah keahlian kita.

Pemandu kafilah kita adalah Mushthafa:
kecintaan alam semesta.

Manis-harumnya hembusan ini,
bersumber dari ikal rambutnya.

Jernihnya ilham ini,
bersumber dari pipinya,
yang bagaikan, “demi waktu dhuha.”                  3)
Karena kilau pipinya,
rembulan terbelah: malu menatapnya.

Sungguh beruntung rembulan itu,
menjadi sosok pengemis yang merendah.

Tataplah ”terbelahnya rembulan“                       4)
yang berlangsung terus-menerus
pada
qalb kami.

Itulah sebab
turunnya penglihatan khusus tersebut
ke
bashirah
-mu.

Ketika dahulu datang serun:
"... bukankah demikian?"
maka bahtera dirimu pun remuk.
                      5)

Jika nanti sekali lagi bahteramu remuk,
maka saat penyatuan tiba.

Insan itu bagai unggas-laut,
sumbernya dari laut,
Laut Jiwa.                                                                  6)

Muncul dari Laut,
mengapakah Elang Sang Raja                              7)
menjadikan alam-dunia ini rumahnya?

Bahkan sejatinya,
insan itu Mutiara Laut,                                          8)
di dalam Laut lah tempatnya.

Itulah sebabnya,
gelombang demi gelombang
menderu dari Laut Jiwa.

Jelanglah saat dicapainya penyatuan,
jelanglah kecantikan yang abadi.

Jelanglah anugerah dan kelimpahan,
yang bersumber dari Samudera Kemurnian.

Gemuruh kelimpahan telah muncul,
gelegar dari Laut telah tiba.

Fajar perahmatan telah menyingsing.
Bukan cahaya pagi biasa,
melainkan Cahaya Rahmat-Nya.                    9)

Siapa sebenarnya sosok kasat-mata ini?
Siapa sebenarnya pangeran dan bangsawan itu?
Siapa sebenarnya ahli hikmah tua itu?

Mereka semua adalah hijab!

Dan obat dari bermacam-macam hijab
adalah lebur: musnah!                                    10)

Pancuran sumber kekeringan ini
berada di dalam kepalamu
dan di dalam matamu sendiri.

Sebenarnya kau miliki dua buah kepala.
Kepala yang terbuat dari tanah-liat,
telah kau pahami;
yang ke dua adalah Kepala Sejati,
dari Langit sumbernya.                                   11)

Kepala Sejati sebagian besar manusia
tersembunyi, berserakan,
di balik tanah-liat.

Mestilah suatu hari kau pahami,
Kepala yang pertama bergantung
kepada Kepalamu yang Sejati.

Kepala yang Sejati tersembunyi,
dan yang tampak ini hanyalah bayangannya.

Ketahuilah, di balik alam-dunia ini
terdapat semesta tak-terbatas.

Satukan dirimu.
Wahai Sang Pembawa Cawan,                         12)
tuangkan anggur dari kendi kami:                 13)
Jika tiba wahana pemahaman,
maka semua ini jelas sekali bagimu.             14)

Dari arah Tabriz bersinar Cahaya
Haqq,
dan aku berkata kepadanya:
“Cahayamu itu menyatu dengan segala sesuatu,
sekaligus ia terpisah dari mereka semua.”    
15)


Catatan:
1) Alam-dunia yang kasat-mata dan alam-malakut, semesta untuk jiwa.

2) Penghulu kita, Adam dan Hawa diturunkan dari
al-Jannah ke Bumi.

3) QS [93]: 1.

4) QS [54]: 1.

5) QS [7]: 172:
“... bukankah demikian?” ditanyakan saat itu kepada jiwa; dan jiwa insan menjawab, “... kami bersaksi ...”

6) Hakikat Insan adalah jiwanya. Warga dari alam-malakut,
“sebuah samudera tanpa pantai,” kata seorang Sufi.

7) Lihat
Kisah Elang Sang Raja, di http://ngrumi.blogspot.com/2011/07/kisah-elang-sang-raja.html

8) Hakikat Kesejatian yang ada di inti qalb-nya, yang jika itu ditemukan kembali, akan mengembalikannya menjadi
“sebaik-baik ciptaan.”  (QS [95]: 4)

9)
“... Rahmat-Nya dalam dua bagian ...” (QS[57]: 28).

10) Aspek
”Wajah” Rabb yang agung dan mulia itu baru tampil ketika insan itu lebur-musnah, fana' billah (QS [55]: 26 – 27.

11)
“Dua Kepala:” Kepala Raga, akal lahiriah, nalar rasional; dan Kepala dari Jiwa, akal dari qalb, atau Lubb.

12) Guru Sejati.

13) Menuangkan "anggur spiritual" sehingga para muridnya dapat lebur-musnah, fana' ; agar mereka dapat melewati hijab-hijab: semesta, makhluk, dan hawa-nafsu mereka sendiri.

14) Dan kebalikannya, “jika belum paham memang tidak ada yang bisa memberi-tahu.”

15) Paradoks yang khas alam-malakut: menyatu sekaligus terpisah; bergabung dengan seluruh semesta sekaligus tak menghilangkan identitas individual.




Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz
Ode no 9 pada terjemahan Nicholson: Divan-e Shams-e Tabriz.
IBEX Publishers, Inc, 2001
(cetak-ulang peringatan 100 tahun karya perintis terjemahan
Divan Rumi oleh Nicholson)



Jumat, 02 September 2011

Dalam Dekapan Sang Kekasih

Akhirnya,
berangkat engkau,
bertolak ke alam tak-kasat mata.
Sungguh mengagumkan,
caramu tinggalkan alam-dunia.

Kau kibaskan sayap dan bulumu,
kau lepaskan diri dari sangkarmu.
Mengangkasa engkau ke langit,
kau capai alam jiwa.

Pernah engkau bagai elang ningrat,
dikurung seorang wanita tua.         [1]
Lalu kau dengar genderang penyeru, [2]
dan melesatlah engkau
lintasi ruang dan waktu.

Sebagai burung bulbul yang merindu,
pernah kau terbang bersama para burung hantu. [3]
Ketika harum semerbak berhembus
dari taman mawar,
segera engkau bertolak,
menjemput Sang Mawar.

Anggur dari alam fana ini, [4]
terkadang membuat pening kepalamu.
Akhirnya, kau masuki Kedai Keabadian.
Bagaikan sebatang panah [5]
melesat engkau dari busur,
tepat menghunjam ke inti kebahagiaan.

Alam bayangan ini
memberimu bermacam isyarat palsu.
Tapi telah berpaling engkau dari maya,
dan melangkah ke hadirat kesejatian.

Kini, engkaulah Sang Matahari, [6]
tak lagi kau perlukan mahkota.
Kau telah lenyap dari alam-dunia ini,
tak lagi kau perlukan jubah.

Kini, tak perlu lagi
kau menatap ke arah jiwamu,
karena telah beranjak engkau
menuju Jiwa Sejati.

Wahai qalb,
engkau bagai burung indah nan langka,
dalam jelajahmu menuju Yang Maha Rahman,
kau kibaskan sayapmu bagai perisai: [7]
patahlah tombak musuh-musuhmu.

Engkau bukanlah bunga biasa,
tak kau takuti datangya musim gugur.
Engkaulah mawar pemberani, [8]
yang memekar di tengah bekunya musim dingin.

Mengucur deras bagai hujan dari langit, [9]
tetesanmu mengguyur atap alam-dunia ini.
Lalu menyebar engkau ke berbagai jurusan,
kemudian menghilang melalui saluran air.

Kini, saatnya hening:
telah usai masamu
perih berlisan ragawi. [10]

Tak perlu lagi tertidur,
sepenuh-penuh diri kini engkau
berada dalam dekapan Sang Kekasih.


Catatan:
[1] Periksa "Kisah Elang Sang Raja,"
  
http://ngrumi.blogspot.com/2011/07/kisah-elang-sang-raja.html


[2] Suara panggilan dari Sang Raja.

[3] Jati-diri sang pencari kesejatian takkan dikenali
para pencinta dunia.

[4] Fenomena alam-dunia itu bayangan buram dari realitas
sebenarnya yang tersembunyi. "Kedai Keabadian," wilayah
Yang Tercinta.

[5] "Anak-panah," melambangkan "jiwa" sementara
"busur" adalah raga.

[6] "Matahari," Sang Ruh yang tersembunyi dalam diri
sang hamba.

[7] Sepasang sayap, "takut" dan "harap."

[8] "Mawar," melambangkan Akal Sejati, perangkat untuk
memahami ilmu dan hikmah.

[9] "Air" disini melambangkan ilmu yang dibawa turun ke alam
dunia ini oleh Insan Ilahiah.

[10] Kata selalu gagal menyampaikan realitas sebenarnya.


Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 3051
Ode no 48 pada Nicholson: Divan-e Shams-e Tabriz.
IBEX Publishers, Inc, 2001 (cetak-ulang, peringatan
100 tahun karya perintis terjemahan Divan Rumi oleh Nicholson).

Juga dari Arberry: Mystical Poems of Rumi 2.
The University of Chicago Press, 1991.

Juga dari Jonathan Star: In The Arms of the Beloved,
Jeremy P. Tarcher/Putnam, New York 1997.