Kisah Seorang Pemuda yang Minta Diajari Bahasa para Binatang
Seorang pemuda meminta kepada Musa a.s: “Ajari aku bahasa binatang, siapa tahu dari suara hewan dan binatang buas akan kudapat suatu pelajaran untuk memperbaiki agamaku;
“Pergilah,” jawab Musa a.s, “tinggalkanlah hasrat sia-sia itu, karena keinginanmu itu mengandung bahaya di depan dan di belakangnya;
Carilah pelajaran dan kebangkitan jiwa yang engkau inginkan dari Allah, bukannya dari buku dan pembicaraan, kata-kata dan lisan.”
Di alam-dunia ini, pujian dan selamat dianugerahkan sehubungan dengan kebajikan dalam kebebasan memilih dan kecermatan yang seksama.
Ketika di dalam penjara, semua pengacau menjadi tekun, menghamba dan berdzikir kepada Tuhan.
Ketika daya untuk bebas memilih telah lenyap, karya menjadi tak-berharga. Perhatikanlah sebelum datang Hari yang merampas modal yang engkau miliki.
Daya untuk bebas memilih adalah modalmu untuk meraih keuntungan. Berhati-hati lah, awasi gerakan daya itu dan perhatikanlah dengan cermat!
Pemuda itu datang lagi, melesat di atas tunggangan ‘Kami telah memuliakan Bani Adam’ : tali-kendali kebebasan-memilih tertenggam di tangan akalnya.
Sekali lagi Musa a.s menasehatinya dengan lembut, “Hal yang engkau inginkan itu akan membuat pucat wajahmu;
Tinggalkanlah hasrat yang sia-sia ini dan takutlah akan Tuhan: Iblis telah menuntunmu untuk menipumu.”
Pemuda itu berkata, “Setidaknya ajarilah aku bahasa anjing penjaga pintu dan unggas yang bersayap itu.”
“Jika demikian,” jawab Musa a.s., “terserah kepadamu! Pergilah, terkabulnya permintaanmu telah tiba: bahasa ke dua binatang itu akan tersingkap kepadamu.”
Pelayan mengibaskan taplak meja, dan sepotong roti, sisa makan malam, terlempar.
Secepat-kilat seekor ayam jantan menyambarnya.
Seekor anjing protes, “Pergi! Engkau mencurangiku;
Cukuplah untukmu sejemput jagung atau gandum, sementara perutku tidak bisa mencerna biji-bijian.
Sepotong roti itu, yang seharusnya bagian kita—teganya engkau mengambil dari seekor anjing!”
Sang ayam jantan berkata kepada anjing tersebut, “Diamlah, jangan bersedih, karena Tuhan akan memberimu sesuatu yang lain, dan bukannya roti ini;
Kuda milik Khwaja akan segera mati: besok engkau akan makan kenyang dan tidak perlu bersedih sekarang;
Matinya kuda itu akan jadi hari-pesta bagi anjing: akan ada banyak makanan tanpa perlu berdaya-upaya.”
Segera ayam jantan itu tampak hina di mata si anjing.
Keesokan harinya sang ayam jantan menyambar roti dengan cara yang sama, dan kembali sang anjing berkata kepadanya:
“Wahai ayam yang buruk, apakah engkau akan berbohong lagi? Engkau jahat, palsu dan rendah;
Kemana kuda yang katamu akan mati? Engkau bagaikan orang buta yang bercerita tentang bintang-bintang yang tidak pernah kau lihat.”
Sang ayam jantan menjawab, “Kudanya mati di tempat lain;
Dia telah menjual kuda tersebut dan lolos dari kerugian: dia menimpakan kerugiannya kepada orang lain;
Tetapi, besok, keledainya akan mati: itu akan jadi kabar baik bagi anjing; jadi, diamlah!”
Sang pemuda yang rakus itu pun segera menjual keledainya dan langsung terhindar dari kerugian dan kesedihan.
Pada hari ke tiga, sang anjing berkata kepada ayam jantan, “Wahai tukang bohong, apalagi alasanmu kali ini?”
Sang ayam jantan menjawab, “Dia tergesa-gesa menjual keledainya; tetapi,” tambahnya, “besok budaknya akan sakit parah;
Dan ketika budak itu meninggal, saudara-saudaranya akan menebarkan potongan-potongan roti untuk para pengemis dan anjing.”
Sang pemuda yang mendengar percakapan ini segera menjual budaknya: dia terhindar dari kerugian, wajahnya tampak berseri-seri;
Dia bersyukur dan gembira, sambil berkata sendiri, “Aku telah selamat dari kemalangan-kemalangan di alam-dunia ini;
Sejak kupelajari bahasa unggas dan anjing aku telah membutakan mata-takdir yang jahat.”
Keesokan harinya, si anjing yang kecewa berkata, “wahai ayam penipu, mana semua hal yang engkau janjikan kepadaku?
Mau berapa lama lagi kepalsuan dan tipuanmu berlangsung? Sungguh, tiada yang muncul dari sarangmu kecuali kepalsuan!”
Ayam jantan seperti kami ini adalah saksi yang benar—bagaikan muazzin: kami adalah pengamat matahari sekaligus pencari saat yang tepat;
Dalam diri kami selalu kami mengamati matahari, sekali pun engkau tutupkan wadah membungkus kami.”
Pengamat matahari Hakikat adalah para awliya: kehidupan mereka akrab dengan rahasia-rahasia Ilahiah.
(Ayam jantan melanjutkan,) “Kaum kami adalah hadiah dari Tuhan bagi manusia, untuk memanggilnya mempersiapkan diri bershalat;
Jika kami menyerunya bershalat di waktu yang salah, tentulah itu suatu hal yang dapat menyebabkan kami disembelih;
Mengatakan, ‘Mari meraih kemenangan,’ pada saat yang salah akan membuat darah kami halal ditumpahkan.”
Ayam jantan Hakiki adalah yang Tuhan lindungi dari dosa dan dibersihkan-Nya dari kesalahan, untuk menjadi Jiwa dari Ilham-Ilahiah.
Satu kehilangan akan dapat mencegah banyak kehilangan: tubuh dan harta kita adalah tebusan bagi jiwa kita.
Di hadirat para raja, ketika mereka memutuskan hukuman, engkau akan menawarkan hartamu untuk menebus kepalamu:
Lalu mengapa, di hadapan takdir Ilahiah, engkau bersikap bakhil—menggenggam erat-erat hartamu dari Sang Hakim Tertinggi.
(Ayam jantan melanjutkan,) “Tetapi, besok dia akan mati: pewarisnya, dalam kesedihannya, akan menyembelih seekor sapi;
Sang pemilik rumah ini akan mati dan meninggalkan alam-dunia, besok banyak makanan akan engkau jumpai;
Semua pihak akan mendapatkan bagian, potongan-potongan kue yang indah dan lezat akan dibagikan;
Daging sapi dan roti akan ditebarkan dengan cepat, bahkan bagi para pengemis dan anjing.”
Kematian kuda, keledai dan budaknya telah membawa bencana bagi pemuda dungu yang tertipu ini.
Dia meloloskan diri dari kehilangan harta dan ketakutan yang timbul dari hal itu: hanya untuk meningkatkan hartanya dan menumpahkan darahnya sendiri.
Zuhud-nya para darwis—untuk apakah semua itu? Maksud dari penggemblengan raga itu adalah untuk lestarinya kehidupan jiwa.
Jika tidak untuk mendapatkan kehidupan jiwa yang lestari untuk apakah seorang pejalan sampai membuat raganya sakit dan lemah?
Tidaklah dia akan mengggerakkan tangannya untuk menyumbangkan sesuatu atau berkarya pengabdian jika dia tidak melihat ganjaran berupa penyelamatan jiwanya.
Yang memberi tanpa mengharapkan suatu balasan apa pun adalah Tuhan, adalah Tuhan, adalah Tuhan.
Atau para Awliya Allah, yang telah berakhlak dengan akhlak-Nya dan telah menjadi terang karena menerima Pencahayaan Mutlak.
Karena Dia itu al-Ghaniy, sementara semua selain Dia itu fakir: bagaimanakah seorang yang fakir berkata, “Ambilah,” tanpa balasan.
Sampai seorang anak yakin akan memperoleh ganti sebutir apel, tidak akan dia melepaskan sebutir bawang yang berbau dari genggamannya.
Mereka menawarkan aneka barang, sementara di dalam hati mereka niatnya hanyalah mendapatkan balasan keuntungan.
Wahai penganut ad-Diin, tak akan engkau dengar satu pun ‘salaam’ yang pengucapnya tidak mengharapkan sesuatu darimu.
Tak pernah aku mendengar, dari siapa pun, suatu ‘salaam’ yang suci dari suatu maksud apa pun; sungguh pun demikian, wahai saudaraku, terimalah salaamku: As-salaamu alaykum.
Kecuali Salaam Allah. Mari, mari, carilah salam itu dari rumah ke rumah, dari istana ke istana, dan dari satu jalan ke jalan lain!
Dari lisan Lelaki yang mulutnya wangi sejati, kudengar salaam-nya dan salaam Allah.
Dan dalam pengharapan akan salaam yang itu, kudengar dengan hatiku semua salaam yang lain, bagaikan mereka itu lebih manis dari hidup.
Salaam seorang Waliullah telah menjadi salaam Allah karena dia telah membakar para warga dari jiwanya sendiri.
Dia telah mati dari dirinya sendiri dan lalu hidup melalui Tuhan: sehingga rahasia-rahasia Ilahiah berada di lisannya.
Matinya hasrat ragawi dalam hidup zuhud adalah bangkitnya kehidupan: penderitaan jasmani ini menyebabkan lestarinya jiwa.
Pemuda yang tertipu itu telah dipinjami telinga: dia mendengar dari sang ayam jantan warta kematiannya sendiri.
Telah kutatap takdir ini pada lembarannya, yang bagimu hanya tampak seperti bayangan dalam cermin.
Lelaki ber-‘aql melihat, dengan qalb-nya, ujung suatu persoalan sedari awal; sementara yang tidak berpengetahuan melihatnya hanya pada saat akhir.”
Ini adalah getaran kematian, bukannya karena salah-pencernaan: muntah tidak akan melegakanmu, wahai pemuda yang
“Pemuda yang keras-kepala itu melompat ke dalam laut, dan dia bukanlah burung-laut: dia tenggelam. Genggamlah tangannya, dan bangkitkan dia, wahai Yang-Tercinta!”
Kemudian Tuhan bersabda, “Telah Ku-anugerahkan ‘iman kepadanya, dan jika engkau kehendaki, saat ini juga akan Kuhidupkan dia;
Bahkan, bagimu, akan Ku-hidupkan, saat ini juga, semua yang telah mati di bumi.”
Musa a.s. menjawab, “Ini adalah alam bagi mereka yang mati: bangkitkanlah mereka di alam yang berbeda, yaitu di tempat yang terang-benderang.
Limpahkanlah anugerah rahmat kepada mereka yang, bahkan saat ini, berada dalam ruang rahasia dari ‘yang berhimpun di hadhirat Kami’ .”
Komentar
Gampangnya begini saja dulu:
Seandainya kepada rata-rata manusia penghuni alam-dunia diberikan kesempatan bertemu dan meminta sesuatu kepada seorang Nabi, apa yang kiranya akan dia utarakan?
Bahkan jika permintaan itu tidak menyangkut hajat hidupnya di dunia: makanan, minuman, ketenaran; katakanlah dia bertanya soal "memperbaiki agamanya," ternyata bagi rata-rata manusia ada satu soal yang masih ingin dia siasati, yaitu takdir.
Karena itu disini pertanyaan ditujukan kepada Musa a.s. yang takdirnya aneh, terpenggal-penggal, dahsyat.
Inilah nabi yang Allah didik dan besarkan dengan takdir yang sesuai dengan tugasnya memerdekakan bangsanya dan menerima 10 Sabda.
Bagi para pencari, takdir itu suci dan mensucikan, karena yang dituju adalah Sang Pengatur Takdir. Bagi yang selainnya takdir adalah sesuatu yang perlu disiasati.
Bagi semua makhluk: takdirnya pasti terjadi.
Terpulang kepada kita...
Semoga membuat pusing dan memaksa kita merenung terus.
Salaam.