Matilah Sebelum Engkau Mati

[Mengenai sabda Rasulullah saw, ‘
Matilah sebelum 
engkau mati:’
“Wahai sahabat, matilah sebelum engkau mati,
jika yang paling engkau kehendaki adalah hidup;
karena dengan mati seperti itu, Idris, as,
lebih dulu 
menjadi seorang penghuni al-Jannah, 
daripada kita semua.”]
 











Engkau telah banyak menderita,
tetapi engkau masih tetap terhijab,
karena kematian itu suatu pokok yang mendasar,
dan engkau belum mencapainya. 

Deritamu tidak akan berakhir sampai engkau mati:
engkau tidak dapat menjangkau atap
tanpa menyelesaikan tangga panjatan. 

Walau hanya tersisa dua buah
dari seratus anak-tangga,
sang pemanjat yang telah keras berjuang
tetap terhalang dari menjejakkan kaki di atas atap. 

Walau tambang hanya kurang satu dari seratus depa,
bagaimanakah caranya air-sumur masuk ke dalam timba.

Wahai pejalan, takkan pernah kau alami
kehancuran kapal keberadaan-diri ini,
sampai engkau meletakkan pemberat terakhir. 

Ketahuilah pemberat terakhir itu sangatlah pokok,
ia bagaikan bintang yang menembus,
yang muncul pada 
malam hari:                    [1]
ia menghancurkan kapal
yang penuh 
ide-jahat
dan kesalahan ini. 

Kapal bangga-diri ini,
ketika ia sepenuhnya hancur,
menjadi matahari di tengah lengkung biru
al-Jannah

Selama engkau belum mati,
deritamu akan terus berkepanjangan:
engkau akan dipadamkan manakala fajar merekah,
wahai lilin dari Thiraz! 

Ketahuilah, Matahari dari alam ini tetap tersembunyi
sampai bintang-bintang kita tertutup. 

Gunakanlah tongkat itu kepada dirimu-sendiri:
hancurkanlah cinta-dirimu,
karena mata jasmaniah ini bagaikan sumbat
pada pendengaranmu. 

Engkau tengah menggunakan tongkat itu
kepada dirimu-sendiri, wahai manusia rendah:
cinta-diri ini adalah bayangan dari dirimu-sendiri
dalam cermin dari tindakan-tindakan-Ku.

Engkau telah melihat bayangan dari dirimu-sendiri
dalam cermin dari bentuk-Ku,
dan telah meradang,
ingin menempur dirimu-sendiri, 

Bagaikan singa yang terjun ke dalam sumur;
karena menyangka bayangan dirinya-sendiri
adalah musuhnya. 

Tidak diragukan lagi, ketiadaan (‘adam)
adalah lawan dari keberadaan
(wujud), 
maksudnya adalah agar dari 
lawannya ini,
engkau memperoleh sedikit pengetahuan 
tentang hal yang sebaliknya.  

Pada saat ini tidak ada sarana
yang menyebabkan diketahuinya 
Tuhan,
kecuali dengan penyangkalan kebalikan:
dalam kehidupan kini
tiada saat yang tanpa jebakan. 

Wahai pemilik kesejatian,
jika engkau menginginkan tersingkapnya
hijab
al-Haqq: pilihlah kematian,
dan robeklah hijab. 

Bukanlah ini kematian yang kemudian membawamu
ke dalam kubur; melainkan suatu kematian berupa
transformasi jiwa,
sehingga ia akan membawamu ke dalam 
suatu Cahaya. 

Ketika seseorang beranjak dewasa,
masa kanak-kanaknya mati;
ketika dia tumbuh putih seperti orang Yunani,
ia menanggalkan celupan hitamnya
yang bagaikan orang dari Afrika. 

Ketika bumi menjadi emas,
tiada tertinggal unsur kebumiannya;
ketika sedih menjadi gembira,
duri kesedihan tiada tersisa. 

Karenanya, Sang Mustafa bersabda:
“Wahai pencari 
rahasia-rahasia,
jika engkau hendak melihat orang mati yang hidup,

Yang berjalan-jalan di atas bumi,
seperti orang yang masih hidup,
namun dia telah mati dan jiwanya telah pergi
ke
al-Jannah;

Orang yang saat ini jiwanya memiliki kedudukan
yang tinggi--ketika ajalnya tiba--tidaklah jiwanya
dipindahkan. 

Karena jiwanya telah dipindahkan sebelum mati:
rahasia ini hanya dimengerti dengan mengalami kematian,
bukannya dengan menggunakan nalar seseorang;

Tetaplah itu sebuah pemindahan, tetapi tidak sama
dengan pemindahan jiwa-jiwa dari mereka yang rendah:
itu mirip dengan suatu perpindahan dalam hidup ini,
dari suatu tempat ke tempat lain. 

Jika ada yang ingin melihat seseorang yang telah mati,
tapi masih tampak berjalan di bumi, 

Biarkanlah dia memperhatikan Abu Bakar,
sang shalih, yang dengan menjadi seorang saksi
yang
shiddiq, menjadi Pangeran Kebangkitan.       [2]

Dalam hidup kebumian kini,
tataplah sang
shiddiq,
sehingga engkau jadi lebih yakin tentang Kebangkitan.” 

Karena itulah, Muhammad merupakan
seratus kebangkitan jiwa: 
di sini dan kini;
sebab terlarutkan dia dalam kematian,
dari kehilangan dan keterikatan sementara.

Ahmad itu lahir dua-kali di alam ini:
dia memanifestasi dalam seratus kebangkitan. 

Mereka bertanya kepadanya mengenai Kebangkitan:
“Wahai (engkau yang adalah) Sang Kebangkitan,
berapa jauhkah jalan menuju Kebangkitan?” 

Dan sering dia akan berkata, dengan kefasihan bisu:
“Adakah seseorang menanyakan (kepadaku, yang adalah)
Sang Kebangkitan,
mengenai Kebangkitan?”

Oleh karenanya,
Sang Rasul yang membawa kabar-kabar gembira 
berkata,
dengan penuh-makna: “Matilah sebelum engkau mati,
wahai jiwa-jiwa mulia,

Seperti aku telah mati sebelum mati,
dan membawa dari Sana kemasyhuran
dan keterkenalan ini.”

Sebab itu,
jadilah kebangkitan dan,
dengan demikian, lihatlah kebangkitan:
menjadi kebangkitan adalah syarat
yang diperlukan
agar dapat melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya. 

Sampai engkau menjadi hal itu,
tidaklah akan engkau ketahui dengan sempurna,
apakah hal itu terang atau gelap. 

Jika engkau menjadi ‘Aql,
 engkau akan mengetahui ‘Aql dengan sempurna;
jika engkau menjadi Cinta,
akan engkau ketahui nyala sumbu Cinta. 

Akan aku nyatakan dengan jelas
bukti dari pernyataan ini,
jika ada pengertian yang tepat untuk menerimanya. 

Buah-ara mudah diperoleh di sekitar sini,
jika ada burung pemakan buah-ara yang mau bertamu. 

Semua orang, lelaki maupun perempuan,
di seluruh alam,
tiada hentinya dalam sekarat,
dan tengah mati. 

Anggaplah kata-kata mereka sebagai wasiat
kepada anaknya,
yang disampaikan seorang ayah pada saat seperti itu. 

Sehingga dengan demikian,
semoga tumbuh di hatimu pertimbangan dan belas-kasih,
supaya akar kebencian dan kecemburuan
serta permusuhan 
dapat tercabut. 

Pandanglah sesamamu dengan cara demikian,
sehingga terbakarlah hatimu dengan belas-kasih,
bagi sekaratnya. 

“Semua yang mesti datang, akan datang:”
anggaplah dia sudah datang di sini dan kini,
anggaplah sahabatmu sedang sekarat dan tengah mati. 

Dan jika ada kehendak yang mementingkan diri-sendiri
menghalangimu dari pandangan seperti ini,
buanglah kehendak seperti itu dari dadamu; 

Dan jika engkau tidak-mampu,
janganlah terus berdiam-diri
dalam keadaan tidak-mampu itu:
ketahuilah bersama dengan setiap ketidak-mampuan
terdapat Yang-Membuat-tidak-mampu. 

Ketidak-mampuan itu adalah sebuah belengu:
Dia mengikatmu dengannya,
engkau harus membuka matamu
untuk menatap Dia yang mengikatkan belengu. 

Karenanya, bermohonlah dengan rendah-hati,
katakanlah: “Wahai Sang Pemandu kehidupan,
sebelumnya aku merdeka,
dan kini aku terjatuh dalam keterikatan;
gerangan apakah sebabnya? 

Telah lebih keras dari sebelumnya
kutapakkan kakiku 
pada kejahatan,
karena Engkaulah Sang Maha Kuasa,
dan aku senantiasa berada dalam kerugian.

Selama ini aku tuli kepada seruan-Mu:
seraya mengaku-aku diri seorang penghancur berhala,
padahal sesungguhnya aku adalah
seorang pembuat berhala. 

Apakah lebih pantas bagiku merenungkan
tentang 
karya-karya-Mu atau tentang kematian?

(Tentang kematian): Kematian itu bagaikan musim-gugur,
dan Engkau adalah (akar yang merupakan)
sumber dari dedaunan.” 

Telah bertahun lamanya,
kematian ini memukul-mukul 
genderangnya,
(tetapi hanya ketika) telah terlambat telingamu 
tergerak mendengarkan.

Dalam kesakitannya (manusia yang lalai)
menjerit dari kedalaman 
jiwanya:
“Wahai, aku tengah sekarat!” 

Apakah baru sekarang ini, 
Kematian membuatmu sadar akan kehadirannya?

Tenggorokan kematian serak
karena teriakan-teriakannya;
genderangnya robek karena kerasnya pukulan-pukulan
yang diterimanya. 

Tetapi engkau menghancurkan dirimu sendiri
dalam 
remeh-temeh: baru kini engkau
menangkap rahasia kematian.
 


Catatan:
[1]    "Demi langit dan demi thariq
Tahukah engkau apa thariq itu?
Bintang yang menembus".

(QS ath-Thariq [86]: 1 - 3)

[2] Dalam Ihya al-Ghazali, dituliskan,
Saat diturunkan ayat 
“... orang-orang  yang dilapangkan dadanya
untuk berserah diri lalu ia menerima cahaya  dari tuhannya....”

(QS  Az Zumar [39]:  22);

Rasulullah saw, menerangkan:
“Apabila cahaya Allah telah memasuki qalb maka dadapun
menjadi lapang dan terbuka ...”  
Seorang sahabat bertanya,
“Apakah yang demikian itu ada tanda-tandanya,
ya ... Rasulullah ?”  Rasulullah menjawab,
“Ya, orang-orang yang mengalaminya lalu merenggangkan
pandangannya dari negeri tipuan (dunia) dan bersiap menuju
ke negeri abadi (akhirat) serta mempersiapkan diri
untuk mati sebelum mati.


Sumber:
Rumi: Matsnavi, III: 4571 - 4601,
terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson
terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh  ngRumi.

Komentar

imaji mengatakan…
salam kenal,
maaf mas bro, mau tanya, masnavi yang di atas itu, apa tmpat penerbit, penerbit, tahunnya berapa ya? kalo ada cetakan keberapa, apa itu edisi revisi atau bukan?
trima kasih yo sebelumnya. jazakumullah.

yamin.
ngrumi mengatakan…
Blog ini merujuk ke "The Mathnawi of Jalaluddin Rumi," Books I - VI, edited and translated by Reynold A. Nicholson, terbitan Gibb Memorial Trust, 1926, reprinted 1990.

Terimakasih atas perhatian yang telah diberikan dan salam kenal kembali.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Postingan populer dari blog ini

Wahai Airmata yang Berlinang

Nama Sejati