Seekor Beo Belajar Bercakap
Seekor beo melihat bayangannya sendiri,
di dalam cermin,
berhadapan dengannya.
Sang Guru tersembunyi di balik cermin:
Pemilik yang sangat berpengetahun dan fasih
itulah yang sebenarnya berbicara.
Si beo kecil mengira bahwa kata yang disampaikan perlahan
itu diucapkan oleh beo dalam cermin.
Demikianlah, dia belajar ucapan bahasa manusia dari
'sejenisnya sendiri;' tanpa
menyadari yang sebenarnya terjadi.
(Sang Pemilik) mengajarinya dari balik cermin;
jika tidak demikian, si beo tidak pernah bercakap,
dia tidak mau belajar kecuali dari yang sejenis dengannya.
Sebenarnya dia belajar bercakap dari seorang yang berpengetahuan,
tapi dia tidak paham cara dan rahasia dibaliknya.
Dia mendengar ucapan, kata demi kata,
dari sang Lelaki Pemilik;
tapi apa ada cara belajar lain, bagi seekor beo kecil?
Seperti itulah, murid yang masih mementingkan diri sendiri,
tak melihat dalam cermin raga Sang Guru,
kecuali dirinya-sendiri.
Bagaimana mungkin dia melihat Akal Sejati di balik cermin,
ketika diberi nasehat dan pengajian?
Dia mengira pembicaraan Lelaki itu suatu hal biasa saja;
sedangkan mengenai hal satunya lagi, Akal Sejati,
tidaklah diketahuinya.
Dia belajar tentang kata-kata,
sedangkan tentang rahasia-abadi,
tidaklah dapat diketahuinya;
karena dia seekor beo,
bukan seorang sahabat-jalan-sejati.
Begitu pula, sebagian orang dapat bersiul bagaikan burung,
karena itu hanya soal ketrampilan lidah dan tenggorokan.
Tetapi mereka tidak paham makna bahasa burung, kecuali
Sulaiman yang agung, sang pemilik 'bashirah.'
Banyak yang belajar istilah-istilah Sufi, dan tampak kemilau
mempesona di mimbar dan majelis.
Tiada sedikitpun anugerah bagi mereka, kecuali
basa-basi duniawi;
sampai dengan datang rahmat Ilahiah yang menunjukkan
jalan yang sebenarnya.
(Rumi: Matsnavi, V no 1430 - 1444, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson)
di dalam cermin,
berhadapan dengannya.
Sang Guru tersembunyi di balik cermin:
Pemilik yang sangat berpengetahun dan fasih
itulah yang sebenarnya berbicara.
Si beo kecil mengira bahwa kata yang disampaikan perlahan
itu diucapkan oleh beo dalam cermin.
Demikianlah, dia belajar ucapan bahasa manusia dari
'sejenisnya sendiri;' tanpa
menyadari yang sebenarnya terjadi.
(Sang Pemilik) mengajarinya dari balik cermin;
jika tidak demikian, si beo tidak pernah bercakap,
dia tidak mau belajar kecuali dari yang sejenis dengannya.
Sebenarnya dia belajar bercakap dari seorang yang berpengetahuan,
tapi dia tidak paham cara dan rahasia dibaliknya.
Dia mendengar ucapan, kata demi kata,
dari sang Lelaki Pemilik;
tapi apa ada cara belajar lain, bagi seekor beo kecil?
Seperti itulah, murid yang masih mementingkan diri sendiri,
tak melihat dalam cermin raga Sang Guru,
kecuali dirinya-sendiri.
Bagaimana mungkin dia melihat Akal Sejati di balik cermin,
ketika diberi nasehat dan pengajian?
Dia mengira pembicaraan Lelaki itu suatu hal biasa saja;
sedangkan mengenai hal satunya lagi, Akal Sejati,
tidaklah diketahuinya.
Dia belajar tentang kata-kata,
sedangkan tentang rahasia-abadi,
tidaklah dapat diketahuinya;
karena dia seekor beo,
bukan seorang sahabat-jalan-sejati.
Begitu pula, sebagian orang dapat bersiul bagaikan burung,
karena itu hanya soal ketrampilan lidah dan tenggorokan.
Tetapi mereka tidak paham makna bahasa burung, kecuali
Sulaiman yang agung, sang pemilik 'bashirah.'
Banyak yang belajar istilah-istilah Sufi, dan tampak kemilau
mempesona di mimbar dan majelis.
Tiada sedikitpun anugerah bagi mereka, kecuali
basa-basi duniawi;
sampai dengan datang rahmat Ilahiah yang menunjukkan
jalan yang sebenarnya.
(Rumi: Matsnavi, V no 1430 - 1444, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson)
Komentar