Tanpa Kematianmu, ...

Dengan cara berjalan seperti itu,
takkan sampai engkau kemana pun.

Dengan kebiasan hidup seperti itu,
takkan mungkin kau capai tujuan.

Jiwamu berat,
dan hatimu bagai hati unta; [1]
kapan engkau bisa bergabung
bersama mereka yang jiwanya gesit dan lincah?

Dengan keangkuhan seperti itu,
bagaimana mungkin engkau akan berendah-hati?

Dengan kemelekatan pada dunia seperti itu,
bagaimana mungkin engkau bergabung
bersama mereka yang memahami tawhid?

Dengan sempitnya dadamu,
bagaimana mungkin engkau bergabung
bersama para pengemban rahasia-rahasia besar?

Engkau bagaikan air-kotor bercampur lumpur,
bagaimana mungkin engkau akan mencapai
kemurnian tanah dan air?

Abaikan rembulan dan matahari,
layaknya Ibrahim, [2]
tak ada cara lain untuk menggapai
Matahari Sejati.

Karena engkau lemah,
segeralah melesat kedalam rahmat-Nya;
sebab tanpa itu,
tak-mungkin engkau dapatkan penyempurnaan.

Tanpa belaian sayang
dari Lautan kelembutan Cinta,
bagaimana mungkin gelombangmu
sampai ke pantai itu?

Tanpa Buraq Cinta
dan keshalehan Jibril as,
bagaimanakah Muhammad saw menembus
langit demi langit itu? [3]
Engkau meminta perlindungan
kepada mereka yang tanpa perlindungan;
bagaimana engkau akan berlindung dari
kedatangan Sang Raja?

Bersama dengan asma Allah,
sembelihlah diri-diri rendahmu,
seluruhnya;
tanpa kematian dirimu, [4]
takkan sampai engkau
pada asma Allah.


Catatan:
[1] Pengecut dan pendendam (penjelasan A.J. Arberry).

[2] “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata:
‘Inilah Tuhanku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata:
‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku termasuk orang yang sesat’. Kemudian tatkala dia
melihat matahari terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku,
ini yang lebih besar’. Maka tatkala matahari itu terbenam,
dia berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan.’ “
(QS Al An’am [6]: 77 - 78).
Matahari Sejati = Insan Sejati, para Nabi atau Wali.

[3] Dari peristiwa Isra-Mi’raj Rasulullah Muhammad saw.

[4] “... bunuhlah diri-diri (anfus) mu ...” (QS An Nisaa' [4]: 66).


Sumber:
Rumi, Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 2894.

Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam Mystical Poems of Rumi 2,
University of Chicago Press, 1979

Komentar

ngrumi mengatakan…
Sangat berbeda cara berbahasa yang dipakai di Matsnavi dengan di Divan, seperti pada ghazal yang satu ini.

Bahkan, konon, murid-murid langsung Rumi sendiri waktu itu juga bingung melihat fenomena Syamsudin at-Tabriz; yang sangat dihormati oleh Rumi sendiri.

Di masa manapun, "jalan" tak pernah mudah ditempuh.

Pada-Nya harapan ditujukan.

Salam.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Postingan populer dari blog ini

Wahai Airmata yang Berlinang

Nama Sejati

Matilah Sebelum Engkau Mati