Di Ambang Batas Kedua Alam




Wahai para pencinta,
genderang langit telah memanggilku,
dan berseru: sudah saatnya kau tinggalkan
dunia ini.

Lihatlah!
Sang penunggang unta telah bangkit,
kafilah ini segera bertolak.
Dia berkata, “maafkan aku membangunkanmu,
tapi, wahai peziarah, mengapa kau tertidur?
Karena di depan maupun di belakangmu
bel unta nyaring berbunyi.
Saatnya untuk berangkat.”

Setiap saat berangkat satu jiwa
mencari dirinya sendiri.

Dari arah gemintang,
yang menggantung bagaikan rangkaian lilin,
dari lengkung biru langit:
turunlah jiwa-jiwa nan cantik;
dan Yang Tersembunyi menyingkapkan Diri.

Selama ini,
semesta dunia yang melengkung,
berputar-berayun,
telah menina-bobokkanmu.

Waspadailah hidup yang menggantung ini,
waspadailah dengkurmu yang berat.

Wahai qalb, carilah Sang Raja Qalb
Wahai awliya, carilah Sang Wali Abadi.
Wahai Sang Penjaga, selalulah waspada
seluruh negeri ini bisa terkalahkan,
jika engkau tertidur.

Malam ini,
ditingkahi hiruk-pikuk kota,
di tengah cahaya lilin dan obor;

Malam ini,
alam yang fana ini
akan melahirkan keabadian.

Dahulu engkau debu,
kini engkau Ruh.

Semula engkau jahil,
kini engkau bijak.

Tokoh yang membawamu kesini,
akan terus memandumu ke depan.

Apa yang menyakitimu
akan menjadi nikmat bagimu,
ketika Dia menarikmu kepada-Nya.

Jangan gentar,
nyalanya sejuk bagai air segar.

Menghidupkan jiwamu adalah
tugas suci-Nya.
Mematahkan rantai pengikatmu
adalah misi-Nya.

Wahai boneka dungu,
yang melompat dari kotakmu,
tentang dunia ini engkau menyeru nyaring:
milikku, milikku!

Tak hentinya engkau melompat-lompat gaduh.
Jika itu tak menyebabkan lehermu patah,
Dia yang akan mematahkannya.

Engkau hina makhluk lain,
dan kau tebar jaring tipu-daya.

Wahai pemalsu,
apakah menurutmu Rabb itu suatu mainan?

Wahai keledai,
tempatmu bersama jerami.

Wahai tungku,
sepantasnya engkau hitam-legam.

Wahai yang terbuang,
memang pantas engkau tinggal
di dasar sumur.

“Dalam diriku ada suatu kekuatan lain
yang melontarkan kata-kata tajam ini.
Cairan yang mendidih itu
disebabkan oleh api, bukan air.”

Tanganku tak menggenggam batu,
aku tak bermusuhan dengan seorangpun.

Tak kurendahkan siapapun,
sebenarnya aku selembut kelopak mawar.

Sumber Tertinggi bicara melaluiku.

Engkau telah diberi sebuah isyarat--
cukuplah itu.

Kini kududuk diam disini,
di ambang batas kedua alam.

Tenggelam dalam keelokan kesunyian.



Sumber:
Rumi, Kulliyat-e Shams, Ghazal no 1789
Badi-uz Zaman Furuzanfar (ed.)
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Jonathan Star,
dalam Rumi, In the Arms of the Beloved, hal 61.

Komentar

Unknown mengatakan…
Trima kasih, sejuk dan membangkitan.
Unknown mengatakan…
Membangkitkan semangat tuk perbaikan diri, salam.

Postingan populer dari blog ini

Wahai Airmata yang Berlinang

Nama Sejati

Matilah Sebelum Engkau Mati