Menghadapkan Wajah kepada Sang Kekasih
Semua orang sibuk di dunia ini.
Ada yang sibuk dengan cintanya pada para wanita, ada yang asyik dengan hartanya, mencari uang, atau belajar--dan semuanya percaya bahwa kemaslahatan dan kebahagiaannya bergantung pada apa yang dicarinya. Dan itu semua juga merupakan rahmat Allah.
Ketika seorang manusia mencari sesuatu yang dikira dibutuhkannya, lalu tak ditemukannya, dia akan membelakangi hal itu. Setelah jeda mencari sejenak dia akan berkata: “Kebahagiaan dan rahmat mesti dicari. Mungkin aku masih kurang keras berupaya. Kalau begitu, akan kuusahakan terus.”
Ketika dia terus mencari, dan yang dicarinya itu masih juga belum ditemukannya, dia terus berupaya, sampai rahmat itu tersingkap mewujud kepadanya. Barulah disadarinya, selama ini dia berada di jalur yang salah.
Sungguhpun demikian, Allah memiliki beberapa hamba yang dianugerahi penglihatan yang jernih, bahkan sebelum tiba Hari ad-Diin. Sayidina Ali kw, misalnya, berkata: “Jika hijab diangkat, tidaklah aku menjadi lebih yakin.” Maksud Beliau adalah jika cangkang alam dunia ini lenyap dan Hari tersebut tiba, tidaklah itu meningkatkan keyakinan yang telah dipunyainya.
Tentang daya persepsi itu, bayangkanlah tentang sekelompok orang yang pada suatu malam berdo’a dalam sebuah kamar yang gelap, masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda. Ketika pagi tiba, semua orang meluruskan arahnya menghadap; kecuali seorang lelaki yang telah sepanjang malam lurus menghadap ke arah Mekah. Lelaki itu tak perlu lagi membenahi arahnya menghadap. [1]
Para hamba sejati Allah menghadapkan wajah mereka kepada Allah sepanjang malam: mereka telah berpaling dari semua hal kecuali wajah-Nya. Bagi mereka Hari ad-Diin itu telah hadir kini. [2]
Dalam diri setiap manusia terdapat cinta, sakit, kehendak, hasrat sedemikian rupa sehingga jika seandainya dia memiliki seratus ribu semesta, tetap tak akan ditemukannya ketenangan. Orang mengerjakan aneka macam profesi, keahlian, menyalurkan berbagai jenis bakat, dan mereka belajar ilmu kedokteran, astrologi dan aneka macam ilmu lain; tapi tak mereka dapatkan kebahagiaan, karena apa yang mereka cari tidak ditemukan.
Sang Kekasih dipanggil dil-aram [3] karena melalui Sang Kekasih lah qalb menemukan kedamaian. Karenanya, tentunya tidaklah mungkin qalb menemukan kedamaian jika dicarinya melalui sesuatu selain Dia. Semua kegembiraan yang lain dan obyek-obyek pencarian yang lain itu bagaikan sebuah tangga. Anak-anak-tangga itu untuk diinjak dan dilalui, bukan untuk ditinggali. Semakin cepat seseorang bangun dan tersadar, semakin ringkas jalan; dan semakin sedikit waktu yang disiakan pada “anak-anak-tangga.”
Catatan:
[1] Mengingatkan kepada, “Dan darimana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja engkau berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu ..." (QS [2]: 150)
[2] Bandingkan dengan, “Dan siapakah yang lebih baik diin-nya, daripada yang menyerahkan wajahnya lillah, ..." (QS [4]: 125).
[3] Dil-aram, secara harfiah berarti, “sesuatu yang memberi qalb ketenangan,” sebuah istilah umum bagi Sang Kekasih.
Sumber:
Rumi: Fihi ma Fihi #15 terjemahan Kabir Helminski.
Sumber:
Rumi: Fihi ma Fihi #15 terjemahan Kabir Helminski.
Komentar
Terima kasih.
Jazakallah khair.