Tongkat Musa
Pernah kuberada di taman-Mu,
di bawah pohon,
yang kabulkan semua keinginan.
Sepenuh diriku terbakar,
sehingga ku menari tanpa musik.
Kini aku sesosok bayangan,
kumenari seiring cahaya Matahari:
kadang kuberbaring di tanah,
kadang kuberdiri-terbalik, di atas kepalaku;
kadang aku memanjang,
kadang aku memendek.
Bagai gerakan cahaya dan bayangan,
melintas permukaan bumi,
kujelajahi zaman.
Aku lah pangeran Mesir,
dan pemandu Bangsa Israil.
Bagi para ulama,
aku lah sang Pembawa Sabda.
Terkadang aku jadi Kalam.
Terkadang aku jadi tongkat di tangan Musa.
Terkadang aku jadi naga,
membelah jalanku menerobos gurun.
Jangan pernah cari Cinta,
dengan bersandar pada tongkat-kayu fikiran;
guna tongkat-kayu itu,
hanya untuk memandu jalan orang buta.
Yang kudamba hanyalah isyarat-Mu:
satu anggukan dari-Mu,
maka jiwaku kan bebas.
Tidaklah dari sini kuberasal,
aku pengelana yang singgah sejenak.
Tersaruk berjalan,
buta, tak tentu arah.
buta, tak tentu arah.
Mendamba uluran tangan-Mu,
membimbingku, melangkah.
Sumber:
Rumi, Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 1603
Berdasarkan versi Jonathan Star,
dalam A Garden Beyond Paradise: The Mystical Poetry of Rumi,
Bantam Books, 1992.
Rumi, Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal 1603
Berdasarkan versi Jonathan Star,
dalam A Garden Beyond Paradise: The Mystical Poetry of Rumi,
Bantam Books, 1992.
Komentar