Yang Bangkit dari Abu Penyatuan


Wahai jiwa,
engkau lah burung Phoenix,
yang bangkit dari abu penyatuan.
Mengapa tak terbang mengangkasa?
-- di bumi engkau tak dikenal.


Kau cicipkan rasa-manis ke dalam hati;
seraya kau remukkan ribuan hati dengan pesonamu.

Saat ini kau tinggal di dalam raga,
tapi ada saat ketika kau lewati lelangit,
kau tembus batas-batas semesta.

Apa sulitnya ruh menemuimu?
--bukankah engkau sayap dan bulunya.

Mengapa pandangan tak melihatmu?
--bukankah engkau sumber penglihatan.


Apa yang akan terjadi pada jiwa tembagamu,
ketika sang Ahli Kimia tiba?
--bukankah akan diubah jiwamu menjadi emas.

Apa yang akan terjadi pada bibitmu yang kecil
ketika tiba musim semi?
--bukankah dari sana kan tumbuh pohon menjulang.

Apa yang akan terjadi pada kayu bakar,
ketika dimasukkan ke dalam api?
--bukankah nyalanya kan menjilat ke langit.

Jangkauan cahaya nalar bagai pendar redup
bintang-bintang di kejauhan.

Sementara engkau bagai terang matahari
yang menembus, lewati semua hijab.

Dunia ini seperti kabut dan es,
sementara engkau bagai musim panas membakar.

Wahai Sang Raja,
tiada serpih dunia ini yang tersisa,
ketika engkau tiba.

Siapa yang dapat duduk di sisimu,
semuanya musnah dengan satu lirikanmu.

Wahai mata yang terberkati,
telah kulihat sesuatu yang tak terkhayalkan,
tak terjangkau oleh keberuntungan
apalagi hanya dengan upaya:
pernah kutatap keindahan sempurna
wajah Syamsuddin at-Tabriz.



Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal no 3071
dari versi terjemahan ke Bahasa Inggris oleh
Jonathan Star, Rumi - In the Arms of the Beloved
Jeremy P. Tarcher/Putnam, New York 1997.

Komentar

Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Postingan populer dari blog ini

Wahai Airmata yang Berlinang

Nama Sejati

Matilah Sebelum Engkau Mati