Kisah Elang Sang Raja
meninggalkan istana Raja,
sampai dia tersesat
ke rumah seorang nenek tua;
yang sedang mengaduk tepung,
di lantai rumahnya.
Si nenek sedang menyiapkan makanan
bagi anak-anaknya, ketika dilihatnya
elang ningrat yang anggun itu.
Segera kaki elang itu diikatnya,
dipangkasnya sayapnya,
dipotongya cakarnya,
dan diberinya jerami untuk makanan.
“Pastilah orang salah merawatmu,” katanya,
“sayapmu terlalu lebar, dan cakarmu panjang.”
“Itulah sebabnya engkau sakit, dan kini
aku akan merawatmu.”
Ketahuilah sahabat,
demikianlah cara orang bodoh
memperlakukanmu: orang bodoh
sesat jalan.
Sang Raja mencari elangnya kesana kemari,
sampai akhirnya dia sampai ke gubuk si nenek.
Dilihatnya elangnya disitu,
dibalik asap dan debu,
keadaannya sangat menyedihkan.
Sang Raja berkata, “ini adalah ganjaran
dari perbuatanmu, engkau tidak teguh
dalam bersetia kepadaku.”
“Mengapakah engkau tinggalkan Taman dan
tinggal dalam Api ini; apakah tak kau simak:
‘dan tidaklah sama antara penghuni an-Naar
dengan penghuni al-Jannah.’ ” [1]
Ini adalah ganjaran yang tepat,
bagi mereka yang tanpa sadar
telah meninggalkan keakraban
dengan Sang Raja; malahan tinggal
di rumah sang nenek tua.
Si elang menggosokkan sayapnya ke tangan
Sang Raja; dia berujar tanpa kata,
“Aku telah berdosa.
Wahai Sang Raja nan Pemurah,
jika tak kau terima sesuatupun, kecuali
hal-hal yang baik, maka kemanakah
seorang pendosa memohon,
kepada siapakah merintih?”
Kemurahan Sang Raja
menarik hati jiwa yang sarat dosa,
karena Sang Raja mengubah
semua hal buruk menjadi indah.
Hindarilah berbuat buruk,
karena, bahkan amal terbaik kita pun
tampak buruk di hadapan kecantikan
Sang Kekasih.
Jika kau anggap pengabdianmu berharga,
telah kau kibarkan bendera dosa.
Janganlah engkau mengandalkan
puja-puji dan do’amu, karena itu dapat
membuat hatimu angkuh.
Kau anggap dirimu telah langsung bicara
dengan Rabb: wahai, tak terhitung jumlahnya
mereka yang terpelanting menjauh dari Rabb
karena prasangka ini.
Sungguhpun Sang Raja sama-sama duduk
bersamamu di lantai, tahu dirilah: duduklah
dengan takzim dan merendahkan diri.
Sang Elang berkata,
“Wahai Raja, aku insyaf,
aku kembali,
kuperbarui keislamanku.
Mereka yang mabuk karenamu,
lalu menabrak kesana kemari,
tak lurus lagi jalan kembalinya,
sudilah kiranya Engkau mengampuni.
Walaupun cakarku telah dipotong,
ketika Engkau milikku,
akan kurobek genggaman sang matahari.
Walaupun sayapku telah dipangkas,
ketika Engkau menerimaku,
lengkung langit melambat karena takjub
kepada kecepatan terbangku.
Jika engkau anugerahi aku sebuah sabuk,
gunung kan kucabut;
jika engkau anugerahi aku sebatang pena,
kan kupatahkan tiang-tiang bendera.
Bagaimanapun, tubuhku ini tidaklah kalah
jika dibandingkan dengan serangga itu:
dengan sayapku ini akan kutantang
kerajaan Namrud.
Kalaupun tubuhku selemah burung-burung
‘ababiil, dan lawan-lawanku setangguh
armada gajah,
Jika kulempar tanah-liat panas,
sebesar biji kenari, bagi mereka itu bagai
seratus rudal ballista”
Musa berperang
bersenjatakan sebatang tongkat,
menundukkan Fir’aun
dengan bala-tentara berpedang.
Setiap nabi berjuang
dengan hanya mengandalkan pertolongan Rabb:
berperang seorang diri,
mengalahkan seluruh dunia.
Ketika Nuh memohonkan kepada Rabb-nya
sebilah pedang,
dengan perintah-Nya, gelombang banjir
menjadi pedang murka-Nya.
Apakah artinya tentara Bumi
bagi seorang Muhammad?
Ditatapnya rembulan di langit,
yang lalu terbelah. [2]
Agar para ahli nujum yang jahil menyadari
tentang masa umat mereka,
dan dimulainya masa umat Sang Rembulan.
Terbelah itu tentang selesainya masa umat mereka;
karena bahkan Musa kalamullah a.s,
takjub akan umat Sang Rembulan.
Ketika Musa melihat cemerlangnya cahaya
umat Muhammad, yang memancar ketika terbit
fajar Hari Agama.
Dia berkata, “Yaa Rabb, umat siapa itu,
yang begitu dirahmati? Bahkan tak terperikan
oleh rahmat: pada umat itu terdapat visi
akan Engkau?”
Lemparkanlah ke-Musa-anmu
dalam samudera Sang Waktu, dan tampillah
di tengah umat Muhammad.
Rabb bersabda, “Wahai Musa,
Ku-perlihatkan tentang mereka kepadamu,
agar bagimu terbuka jalan penyatuan spiritual
dengan Muhammad,
Karena masamu ini, yaa Kalim,
terpisah jauh dengan masa Muhammad,
tidaklah itu terjangkau olehmu:
tariklah kembali kakimu,
selimut masa ini terlalu panjang bagimu.
Dalam kasih-Ku,
Kuperlihatkan sepotong roti bagi abdi-Ku,
agar kehendak akan itu akan menghidupkan
rintihannya.
Bagai seorang ibu yang menyentuh hidung
bayinya, agar dia terbangun dan segera
mencari makanan,
Karena sang bayi dapat tanpa sadar tertidur
dalam keadaan lapar;
Ketika bangun, segera sang bayi menuju
payudara ibunya, untuk mendapat susu.
Aku adalah sebuah Khazanah,
sebuah Rahmat Tersembunyi,
karenanya Kukirimkan seorang Imam
yang terpandu dengan Haqq.”
Semua kemurahan Ilahiah yang kau cari
dengan segenap dirimu;
Dia memperlihatkannya padamu,
agar engkau mendambakannya.
Berapa banyak berhala
Muhammad hancurkan, agar umat dapat
memohon, “yaa Rabb, yaa Rabb!”
Tanpa upaya Muhammad itu,
engkau--seperti para penghulumu--
akan menyembah berhala.
Kepalamu itu telah diselamatkan
dari menyembah berhala,
agar engkau dapat ikut
bersama sekalian umat
mengaku berhutang-budi kepadanya.
Jika engkau berbicara,
nyatakanlah terimakasihmu kepadanya,
bahwa engkau telah diselamatkan:
agar diselamatkannya pula engkau
dari berhala di dalam dirimu.
Kepalamu memang telah diselamatkan
dari tunduk kepada berhala; tapi adakah
telah kau peroleh kekuatan darinya,
agar qalb-mu juga selamat?
Kau lupa berterimakasih kepada ad-Diin,
karena kau peroleh itu secara cuma-cuma,
warisan dari ayahmu.
Orang yang memperolehnya sebagai warisan
takkan menghargainya.
Seorang Rustam mengalami derita yang hebat
untuk mendapatkannya; tak bisa itu
dibandingkan seorang Zal yang tanpa-usaha
memperolehnya.
“Ketika Kusebabkan seseorang merintih,
maka bangkitlah Rahmat-Ku: yang menjerit itu
akan meminum anugerah-Ku.
Jika Aku tak berkehendak memberi sesuatu,
takkan hal itu Kuperlihatkan kepada sang hamba;
tapi ketika telah kuciutkan qalb-nya dengan
kesedihan, maka akan Kuluaskan
dengan kegembiraan.
Rahmat-Ku bergantung pada tangisan yang haqq:
ketika air-mata yang benar menitik,
bangkit menjemput gelombang samudera
Rahmat-Ku.”
Catatan:
[1] “Dan tidaklah sama ashabun-Naar itu dengan ashabul-jannah ...” (QS [59]: 20)
[2] “Telah dekat as-Saat dan telah terbelah rembulan” (QS [54]: 1).
“Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ‘Telah terbelah bulan pada zaman Nabi saw menjadi dua, maka Nabi saw bersabda, ‘Saksikanlah’.”(HR. Bukhari 3636,3869 dan Muslim 2800).
Sikap si nenek-tua disini memperlihatkan kebodohan pencinta dunia, sehingga sang elang (jiwa insan) merana terpenjara di dalam raganya sendiri; sehingga tak bisa lagi terbang bebas mengembara ke alam malakut--habitat sejatinya.
Sumber:
Rumi: Matsnavi II: 323 - 375
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson
Rumi: Matsnavi II: 323 - 375
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson
Komentar
"Rahmat-Ku bergantung pada tangisan yang haqq: ketika airmata yang benar menitik, bangkit menjemput gelombang samudera
Rahmat-Ku.”
InsyaAllah, mengerti..
Terima kasih, mas Herman..
“Pergilah kepada hamba-Ku. Lalu timpakanlah bermacam-macam ujian/bala’ kepadanya. Aku cinta (Uhibbu) mendengar suara (munajat)nya” .(HQR.Thabrani)
Seperti itulah, rasanya. Untuk kita renungkan bersama.
Salam.
Segala puji hanya untuk-Mu, Kekasih...