Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2012

Cinta Itu ...

Cinta itu  asing bagi ke dua semesta alam.          [1] Didalamnya tercakup tujuh-puluh dua kegilaan.                     Ia sangat tersembunyi, cuma keterpesonaannya yang mewujud: jiwa para pangeran ruhaniah mendamba hanya padanya. Agama Cinta berbeda  dari ke tujuh-puluh dua sekte:              [2] di sisinya, mahkota para raja tak lebih daripada sepotong perban pembalut luka. Ketika jiwa sedang lebur, tenggelam,  terdengar merdu lantunan sang penyair Cinta: "Penghambaan itu sebuah keterpaksaan, dan kewenangan itu memusingkan." Lalu, apa itu Cinta? Lautan Ketiadaan: di dalamnya kaki akal remuk, dan tak lagi mampu berenang. Kita kenal penghambaan dan kehendak-bebas, jalan seorang pencinta tersembunyi di balik ke dua hijab itu. Catatan: [1]  Alam yang mewujud, dan yang tak kasat mata. [2]  Mengingatkan kepada hadits tentang terpecahnya kaum Muslim menjadi 73 golongan, 1 diantaranya yang akan masuk  al-Jannah,  yaitu  "al-Jama'ah." Sumber

Mencermati Ketiadaan

Gambar
Semua yang mempesonamu,  pada wajah-wajah cantik, adalah Cahaya Sang Matahari  terpantul pada kaca prisma. Beragam corak kaca  membuat Cahaya tampil beraneka-warna. Ketika prisma kaca beraneka-warna tak lagi ada, barulah Cahaya tanpa-warna mempesonamu. Bangunlah kebiasaan  menatap Cahaya tanpa prisma kaca, sehingga ketika prisma kaca itu remuk, tak lagi engkau buta. Selama ini engkau puas dengan pengetahuan yang kau dapat dari orang lain: matamu dapat memandang karena adanya cahaya lampu orang itu. Dia mengambil lampu itu, agar kau ketahui bahwa engkau seorang peminjam bukan pemberi yang murah hati. Jika semua pemberian itu telah engkau syukuri dengan sungguh-sungguh beramal, tak perlu kau tangisi kehilangan itu; karena Dia akan menggantinya seratus kali lipat. Tetapi jika selama ini kau tak pandai bersyukur, kini saatnya meneteskan air mata darah, karena keunggulan jiwa dihapuskan dari mereka yang tak bersyukur. Dia menghapus amal-amal kaum yang kufur;   [1] kepada

Jalan Kemerdekaan

Ketika engkau berlindung kepada al-Qur'an milik Allah, engkau bergabung bersama jiwa para nabi. Al Qur'an itu adalah penjelasan berbagai keadaan para nabi: mereka bagaikan ikan-ikan di dalam Laut Suci, Keagungan Ilahiah. Tapi jika engkau membaca al-Qur'an sedangkan hatimu tak menerimanya, maka apa manfaatnya bagimu; seandainya pun engkau bertemu para wali dan nabi? Jika hatimu menerimanya, ketika engkau membaca kisah para nabi, maka jiwamu bagaikan burung yang gelisah dalam sangkarnya. Burung itu terpenjara dalam sangkar, jika ia tak mencari jalan keluar, itu semata-mata karena kebodohannya. Jiwa-jiwa yang telah merdeka dari sangkar adalah milik para nabi, mereka lah yang pantas menjadi pembimbing. Dari luar sangkar kita dengar suara mereka menyeru kepada  ad-Diin, "Inilah Jalan kemerdekaanmu. Melalui Jalan ini lah, telah merdeka kami dari sangkar sempit itu: tiada kemerdekaan kecuali melalui Jalan ini.                               [1]

Tuan Rumah

Para penempuh Jalan,  dimana kalian? Kekasih Tercinta ada disini!                   [1] Dambaanmu tinggal di ruang sebelah. Sejak awal bertetangga!                          [2] Mengapa engkau berkelana kesana kemari, menjelajah gurun? Jika tatapanmu menuju   ke Wajah Yang Tercinta,                         [3] dan tak hanya ke bentuk permukaan, maka dirimu lah yang menjadi rumah  bagi Rabb: engkau lah tuan rumah bagi-Nya. Berkali-kali kau tempuh jalan menuju rumah itu. Kali ini, masuklah ke dalam, panjatlah atapnya. Rumah indah yang suci yang ciri-cirinya telah kau paparkan dengan rinci. Kini tunjukkanlah padaku ciri-ciri rumah Rabb . Jika telah kau kunjungi Taman itu, mana oleh-oleh rangkaian bunga dari sana? Jika kau telah sampai Laut-nya Rabb, mana mutiara indah, jiwamu: Sang Pribadi? Bagaimanapun, semoga jelajahmu selama ini membawamu ke gudang harta-karun. Sungguh sayang, jika tak kau sadari, harta-karunmu terkubur di dalam dirimu sendiri. Catatan:

Yang Tampak dan Yang Tersembunyi

Gambar
Dia telah menjadikan yang nisbi eksistensinya tampil berwujud dan agung; Dia telah menjadikan yang lebih nyata eksistensinya tersembunyi bentuknya. Dia telah menghijab Laut, dan membuat ombak tampak; Dia telah menyembunyikan Angin, dan memperlihatkan padamu debu. Debu membubung setinggi menara: tak mungkin ia melayang sendiri. Wahai yang berpandangan tajam, kau lihat debu melayang tinggi; sedangkan anginnya tak kau lihat, tapi kau ketahui adanya dengan akalmu. Kau lihat ombak menggelora kesana-kemari, tanpa Laut, ombak itu takkan bergerak. Kau lihat ombak itu dengan inderamu, dan Laut melalui kesimpulanmu: pemikiran tersembunyi, sedangkan perkataan berwujud. Kita melihat akibat sebagai pengukuhan: mata kita hanya melihat hal yang tak memiliki eksistensi sendiri. Mata lahiriah ini hanya melihat secara terbatas, bagaikan dalam keadaan tidur, tak dilihatnya apa pun kecuali fatamorgana dan yang lemah eksistensinya. Jadilah kita berkubang dalam kesalahan,

Pangeran Palsu

Tengoklah kesini, ada Pangeran Palsu. Naik kuda kecil, diatas sadel kecil, lagaknya menyebalkan, bergaya memakai mahkota emas. Karena tak percaya kematian, dia bertanya dengan angkuh, "Dimana, dimana, malaikat maut itu?" Sebenarnya, Sang Maut senantiasa menyapanya, dari ke enam arah, seraya berseru, "Aku disini, aku disini." (Pada saatnya) Sang Maut berkata kepadanya, "Wahai keledai, kemana sekarang derap penuh gayamu? Kemana paras angkuh, bangga-diri, dan kemarahanmu? Kemana berhala cantik sumber kebahagiaanmu? Kepada siapa kau berikan mahkotamu, kini bantalmu gumpalan tanah, kasurmu dari tanah." Kurangi makanmu, gulung kasurmu, carilah  ad-Diin al-Haqq, agar kau menjadi Pangeran Keabadian, yang bebas pernak-pernik kecil adat dan kebiasaanmu. Jangan kubur jiwamu, jangan ubah roti jadi kotoran, kemana akalmu: kau lemparkan mutiara ke dasar kotoran. Ketahuilah, kita melekat ke tanah kotor ini semata agar menemukan mutiar

Rasa Sakit: Menyiapkan Hati

Ketika rasa-sakit memasuki hati, dan menyergap rasa senangmu, ketahuilah, ia sedang menyiapkan jalan bagi datangnya kebahagiaan. Cepat sekali rasa sakit menyapu bersih semua rasa lainnya, mengusir mereka keluar dari ruang hati; hingga tiba saat bahagia mendatangimu dari Sumber Kebaikan. Ia merontokkan semua daun layu dari cabang-ranting hati, agar daun segar dapat tumbuh. Ia mencabut akar tua kesenangan, sehingga keriangan yang  baru dapat berkunjung dari ke-Tiada-an. Rasa sakit di hati membongkar akar kesenangan yang lapuk dan busuk, sehingga tiada kepalsuan tersembunyi. Rasa sakit mencuci bersih hatimu, agar hal yang lebih baik dapat hadir menggantikannya. Sumber: Rumi :  Matsnavi  V  3678 - 3683. Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick Dalam  The Sufi Path of Love - The Spiritual Teachings of Rumi,  SUNY, Albany, 1983.

Tanamlah Cinta

Ketika kau tanam sebatang pohon, setiap daun yang tumbuh akan menyampaikan padamu, bahwa bibit yang telah kau semai akan menghasilkan buah. Karena itu, sahabat berakal, jangan tanam sesuatu pun kecuali Cinta; kau perlihatkan nilai sejati dirimu pada apa yang engkau cari. Air mengucur kepada mereka yang mendambakan kesucian. Basuhlah tanganmu dari semua hasrat, dan hadirilah meja Perjamuan Cinta. Ingin kubisikkan sebuah rahasia?        [1] Bunga akan menarik perhatian Kekasih yang paling cantik; dengan senyum dan wanginya.            [2] Jika kau relakan Dia menganyam ungkapan dalam puisimu, orang akan senantiasa membacanya. Catatan: [1]  'Bunga,' tegasnya, 'Mawar,' simbol Akal Sejati. [2]  Ketika Akal Sejati dipahamkan suatu rahasia Ilahiah, jiwa  (nafs)  pemiliknya kadang memberi isyarat  'senyum.' 'Wangi'  adalah aroma jiwa yang suci, yang bersumber dari takwa di  qalb. Sumber: Rumi:   Divan-i Syamsi Tabriz,   Ghazal no 916.

Dikembalikan ke Serendah-rendah Keadaan

Gambar
Keindahan, yang diwarisi manusia dari Adam, yang kepadanya para malaikat bersujud, segera luruh, bagaikan jatuhnya Adam dari  al-Jannah . Keindahan menjerit: "Mengapa? Setelah aku cemerlang, kini memburam?" Dia menjawab: "Salahmu adalah karena engkau hidup terlalu lama." Jibril menyeretnya, seraya berkata: "Pergilah dari al-Jannah ini, enyahlah engkau dari majelis indah ini." Ia bertanya: "Apa gerangan maksud dari direndahkan setelah aku sebelumnya dimuliakan?"            [1] Jibril menjawab: "Dimuliakannya engkau adalah sebuah pemberian dari-Nya, sedangkan rendahnya engkau kini adalah penghakiman-Nya atas nilai sebenarnya dirimu." Ia menjerit: "Wahai Jibril, bukankah telah bersujud  engkau,   [2] sebelumnya, dengan sepenuh dirimu, mengapa sekarang kau usir aku dari al-Jannah?" "Jubahku tanggal,                                             [3] ketika guncangan ini menimpaku, bagai daun kurma rontok di mus